Pendidikan Non Formal 3

PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT MENUJU OTONOMI DAERAH KALTIM

A. Latar Belakang

Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan pilot project yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan belajar anak melalui suara, pilihan dan tindakan kolektif masyarakat. Proyek percontohan ini akan dilaksanakan melalui mekanisme Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi dampak kemiskinan pada masyarakat pedesaan dan untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan setempat. PPK difokuskan pada kecamatan yang dinilai termiskin di Indonesia, dan membiayai proyek pembangunan pada tingkat desa melalui sebuah sistem pilihan terbuka, yang memungkinkan berbagai kelompok masyarakat untuk mengusulkan kegiatan pendidikan. Sejauh ini, PPK belum memiliki sistem yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan maupun perspektif masyarakat terhadap gagasan inovatif berkaitan dengan pendidikan.

Kelompok sasaran utama dari proyek percontohan Pendidikan Berbasis Masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan bagi para anak murid. Selain peningkatan

fasilitas infrastruktur fisik, proyek percontohan ini akan melibatkan masyarakat agar dapat mempertimbangkan berbagai kegiatan non-fisik, seperti peningkatan kapasitas mengajar, proses dan suasana pembelajaran yang menyenangkan, dan perawatan kesehatan dan gizi bagi para anak. Diharapkan juga bahwa hubungan antara sekolah dan masyarakat akan semakin baik.

Bagaimanapun juga, ada beberapa hal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat namun dengan dampak yang sangat terbatas kecuali dengan keterlibatan dinas pendidikan kabupaten. Misalnya, dinas pendidikan kabupaten dapat mendukung masyarakat dengan informasi dari luar, seperti Undang-Undang Pendidikan No. 20/2003 dan UU tentang Perlindungan Anak No. 23/2002. Yang terakhir misalnya akan melindungi anak dari kekerasan di sekolah maupun di rumah. Berkurangnya kekerasan akan sekaligus meningkatkan kapasitas anak-anak untuk belajar . Pendidikan guru adalah contoh yang lain. Sangat mahal apabila masing-masing sekolah harus melaksanakan pelatihan guru. Namun jauh lebih praktis dan ekonomis apabila kelompok-kelompok masyarakat yang memilih untuk meningkatkan kapasitas gurunya, melakukannya secara bersama di tingkat kabupaten.

Otonomi Daerah merupakan kewenangan Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingaan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Thoha, 1998). Dengan otonomi daerah, maka wewenang pusat dilimpahkan kepada daerah untuk menangani urusannya masing-masing. Di Indonesia otonomi daerah tidak dilaksanakan secara frontal untuk segala urusan, tetapi sebagian urusan daerah tidak lagi diintervensi oleh pemerintah pusat. Melihat kondisi ini, maka diharapkan dapat mendorong kemajuan daerah berdasarkan potensi dan sumber daya yang dimiliki.

Penataan otonomi daerah yang seluas-luasnya akan mempengaruhi penataan institusi dan berdampak pada manajemen berbagai sumber daya yang ada di daerah. Apabila otonomi daerah dikonsentrasikan di wilayah kota atau kabupaten, maka propinsi tidak lagi sebagai pemerintah otonom, tetapi bersifat koordinatif. Wewenang penyelenggaraan segala urusan berada pada tingkat kota atau kabupaten. Hal ini akan membawa dampak pada penataan sistem pendidikan, termasuk organisasi penyelenggara, kurikulum, penataan SDM, pendanaan, sistem manajemen, sarana prasarana, dan pengembangan pendidikan daerah.

B. Tujuan Pendidikan Bermasis Masyarakat

Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) bertujuan untuk membantu pemerintah dalam memobilisasi sumber daya lokal dan meningkatkan peranan masyarakat, meningkatkan rasa kepemilikan dan dukungan masyarakat terhadap sekolah, dan mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan, serta membantu mengatasi putus sekolah terutama dari SD.

C. Permasalahan

.Besarnya penduduk Indonesia yang menempuh pendidikan luar sekolah.
.Rendahnya Anggaran dari Pemerintah
.Pemerintah belum melihat Pendidikan secara utuh
.Prioritas pemerintah pada pendidikan sekolah.

BAB II

PEMBAHASAN

A.Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM)

Konsep PBM adalah: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community based education).

Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah:

a) pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya ,
b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran,
c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.

Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal. Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah.

Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka, seperti: a) alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan ironi kekurangan tenaga medik dan paramedik, kemudian terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu; b) Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan Kab./Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak alumni; c) sangat ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya.

Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.

Implikasinya adalah terputus mata rantai budaya sosial antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Generasi yang lebih muda menjadi tidak mampu mewarisi dan mengembangkan bangunan budaya sosial yang dikonstruksi oleh generasi pendahulunya, bahkan tidak mampu mengapresiasi dan seringkali berperilaku yang cenderung berakibat mengenyahkannya. Generasi seperti ini cenderung hanya mampu melihat kekurangan-kekurangan pendahulunya, tanpa menawarkan jalan keluar dan penyelesaiannya.

Kisah yang sangat biasa bagi orang pribumi yang kaya raya dari hasil usaha dan bisnisnya, anak mereka menghancurkan perusahaan dan menghabiskan kekayaan untuk berfoya-foya. Hal seperti ini tidak terjadi pada tradisi etnis tionghoa, dimana yang kaya akan menjadi lebih kaya karena putra-putrinya dipersiapkan untuk menjadi pewaris yang mampu mengembangkan bisnis yang dirintis oleh kedua orang tuanya. Misalnya dengan membiasakan anaknya magang di setiap outlet orang tua dan memperoleh perlakuan seperti layaknya pegawai, dengan demikian mereka mempunyai akselerasi belajar yang jauh lebih tinggi karena segala pelajaran yang diperoleh di sekolah memperoleh penguatan melalui aktivitas praktis yang dijalaninya.

Sementara itu kita juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara global dapat dilihat dengan adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba. Secara regional dapat dilihat dengan maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida ligitan. Secara Nasional dapat kita lihat dengan banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi.

Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing dengan SDM dari negara lain. Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mencanangkan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK). Dengan kurikulum ini materi pelajaran ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pusat hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk menyampaikan semua materi pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dan berfokus pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif (Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004).

Oleh karena itu dengan melaksanakan KBK secara optimal diharapkan output pendidikan dapat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai akuntabilitas pendidikan kepada masyarakat sesuai dengan konsep PBM. Sejalan dengan dicanangkannya KBK, pemerintah juga melakukan pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah model manajemen yang memberikan keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri dengan meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah dengan tetap memperhatikan standar pendidikan nasional (Irawan, A., 2004).

MBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang dilaksanakan dalam pendidikan formal. Pendidikan kita selama ini memandang sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak didik sepenuhnya. Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).

Memulai kembali menata pendidikan dengan mempertahankan fungsi keluarga dan masyarakat sebagau basis pendidikan di sekolah bukan lagi ide untuk masa depan tetapi menjadi tuntutan yang sangat mendesak. Upaya ini akan menjadi cara untuk mengembalikan sistem pendidikan kita kepada hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang hakiki adalah suatu langkah prosedural yang bertujuan untuk melatenkan kemampuan sosial budaya berupa program-program kolektif alam pikir, alam rasa, dan tradisi tindak manusia ke dalam pribadi dan kelompok manusia muda agar mereka siap menghadapi segala kemungkinan yang timbul di masa datang.

Karena itu diperlukan partisipasi semua elemen (stakeholder) terutama orang tua dan masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan model pendidikan berbasis masyarakat, di mana proses pendidikan tidak terlepas dari masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai basis keseluruhan kegiatan pendidikan. Semua potensi yang ada di masyarakat apabila dapat diberdayakan secara sistemik, sinergik dan simbiotik, melalui proses yang konsepsional, dapat dijadikan sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Menurut Darwin rahardjo dalam Surya, M., 2002 masyarakat modern mempunyai tiga sektor yang saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan sektor sukarela (LSM). Ketiga sektor masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar menawar dan kemandirian sehingga menghasilkan kerjasama yang sinergik dan simbiotik dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dapat dijadikan kerangka berfikir dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.

B. Kendala Mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat

Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S., 2004 adalah:

1) Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah (top down).
2) Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
3) Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
4) Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
5) Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani / kebendaan.
6) Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
7) Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti birokrat.
8) Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
9) Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
10)Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.

Sistem yang masih top down yang kurang memberikan ruang dan peluang perencanaan dari bawah, sehingga terjadi penyeragaman program serta penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan program mengakibatkan pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar mematikan kreativitas di lapangan dan membuka peluang untuk memanipulasi.

Kurangnya kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat mengakibatkan terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.

Tugas melayani masyarakat yang belum dilaksanakan dan kecenderungan berperilaku sebagai penentu yang selalu ingin dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi. Kebutuhan masyarakat yang beragam dan merasa belum terlayani dengan baik menyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan keengganan untuk mengikuti program belajar. Pola pikir masyarakat yang masih mementingkan kebutuhan kebendaan atau badani dan kurang memperhatikan pendidikan menyebabkan banyak anak yang tidak berkesempatan mengikuti program pendidikan dan mereka lebih disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah.

Masyarakat masih memiliki budaya statis , merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka. Tokoh panutan yang berperilaku seperti birokrat mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.

Kurangnya LSM mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat.
Adanya keterbatasan anggaran, sarana prasarana dan tenaga kependidikan serta prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program pendidikan berbasis masyarakat berkurang.

Bertolak dari permasalahan-permasalahan ini, institusi sekolah bersama masyarakat perlu menyusun suatu model kebijakan sampai batas mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam manajemen pendidikan dan bagaimana masyarakat itu dapat berpartisipasi memenuhi kebutuhan sekolah. Salah satu solusinya, aspirasi masyarakat dan keikutsertaan masyarakat disalurkan melalui suatu forum yang disebut dewan sekolah atau komite sekolah yang fungsi tugasnya dituangkan dalam peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Komite sekolah merupakan pengembangan fungsi dari BP3 yang tidak hanya berfungsi untuk memberikan dukungan pembiayaan tetapi juga berfungsi mengoreksi dan memberikan masukan atau ide bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Komite sekolah sebagai forum keikut sertaan masyarakat ditingkat sekolah sedangkan dewan pendidikan ditingkat Kabupaten/Kota.

Sekolah dan masyarakat saling membutuhkan sehingga kekuatan dan keterbatasan masing-masing dapat saling melengkapi menjadi sebuah kekuatan. Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.

Secara umum orang tua menginginkan pendidikan yang lengkap untuk anak-anak mereka. Mereka menginginkan generasi mudanya dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi warga negara yang berbudaya dan berpendidikan serta memiliki kemampuan untuk berperan secara penuh dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske, 1993 bahwa orang tua adalah pelanggan utama sekolah yang mempunyai tujuan pokok agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang bermutu.

Selain itu untuk mengatasi kendala penerapan berbasis masyarakat perlu dilakukan perbahan sikap yang melihat pendidikan secara utuh, perubahan pola perencanaan dan penggunaan anggaran dari pusat dengan pola DIP ke pola hibah (block grant), perubahan sikap birokrat dalam berperilaku untuk memberdayakan masyarakat, pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sendiri pendidikan yang mereka perlukan dan pemerintah cukup membuat standar mutu, LSM serta organisasi kemasyarakatan serta swasta yang mau bergerak dibidang pendidikan perlu lebih diberdayakan.

C. Peran Pemerintah Dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat -(PBM III)

a. Bagaimana peran pemerintah dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat?

Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah: peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai mitra dan peran sebagai penyandang dana.

Sebagai Pelayan Masyarakat, dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.

Sebagai Fasilitator, pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.

Sebagai Pendamping, pemerintah harus melepaskan perannya dari penentu segalanya dalam pengembangan program belajar menjadi pendamping masyarakat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan.

Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa ( bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat ( Ing ngarsa sung tulodo).

Sebagai Mitra, apabila kita berangkat sari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat.

Sebagai Penyandang Dana, pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat yang disalurkan berdasarkan usulan dari lembaga pengelola PKBM.

b. Bagaimana peran Komite sekolah dalam pendidikan berbasis masyarakat ?

Partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi. Karena partisipasi tersebut bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah. Apalagi saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah. Karena itu gagasan tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat (semacam lembaga legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya komite sekolah, kepala sekolah, para penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan bertanggung jawab kepada komite tersebut. Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Dirjen Dikdasmen, maka dengan konsep manajemen berbasis sekolah pertanggung jawaban itu kepada Komite Sekolah. Pemerintah dalam hal ini hanya memberikan legalitas saja.

Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah.

Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini sangat penting lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah mulai tidak jelas sekarang ini.

Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan mengarahkan serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di usia sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0293/U/1993 juga perlu disesuaikan dengan nuansa dan paradigma perkembangan pendidikan nasional. Karena itu, Komite Sekolah yang baru ini adalah gabungan peran dari Komite Sekolah JPS, Organisasi Orang Tua Siswa dan BP3. komite Sekolah yang baru ini bertujuan membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam upaya ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan nasional.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tentu saja Komite Sekolah mesti melakukan berbagai upaya dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, termasuk LSM-LSM yang memiliki concern di bidang pendidikan. Agar independensi komite ini tetap terjaga, maka tampaknya keanggotaan tidak lagi memasukkan aparat sekolah dan pemerintahan. Kalau Komite Sekolah JPS keanggotaan ya terdiri dari 50% anggota masyarakat dan 50% lagi birokrat, maka keanggotaan Komite Sekolah yang baru ini adalah orang tua siswa, tokoh masyarakat, pakar dan pengamat pendidikan, LSM-LSM, dan mungkin juga perwakilan-perwakilan dari organisasi masyarakat dan pemuda yang ada.

Tentu saja Kepala Sekolah harus membantu terbentuknya komite ini. Selanjutnya pembentukan komite dilaporkan kepada instansi/satuan kerja setempat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan. Namun demikian komite ini bersifat independen yang berkedudukan sebagai mitra sekolah dan berfungsi sebagai lembaga kontrol bagi sekolah. Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan penilaian untuk pengembangan pelaksanaan pendidikan dan pelaksanaan manajemen sekolah. Komite sekolah nisa juga memberikan masukan bagi pembahasan atas usulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).

Jika Komite Sekolah ini bisa dijalankan, berarti proses dan pelaksanaan pendidikan di sekolah akan berjalan sesuai prinsip demokrasi. Ini berarti lingkungan sekolah menjadi laboratorium dan contoh mikro dari realisasi masyarakat madani. Sebab, dengan demikian masyarakat sekolah berarti menjalankan fungsi legislatif-eksekutif, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Jelas sekali bahwa memfungsikan MBS dan Komite Sekolah merupakan upaya demokratisasi pendidikan yang menjadikan pendidikan berakar pada masyarakat yang tentunya mempunyai sustainability yang handal.

----------------------------------- BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

1.PBM sudah ada dan tumbuh di Indonesia dalam berbagai bentuk.
2.Peran pemerintah harus bergeser sebagai pelayan, pendamping, pendorong, dan penggugah dalam mengembangkan PBM.
3.PBM harus bertumpu pada masyarakat.
4.PBM harus didukung oleh kemitrasejajaran
5.Penganekaragaman program pembelajaran perlu dikembangkan.
6.Pola pengganggaran yang salah dapat mematikan kreativitas masyarakat.

0 komentar: