Pendidikan Khusus 1

Advokasi madrasah di gresik

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahwasannya kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lain. Sedang kewenangan bidang pemerintahan yang dilaksanakan daerah meliputi; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

Lebih lanjut, dalam PP. No. 25 Tahun 2000 disebutkan, bahwa kewenangan daerah juga meliputi penetapan kurikulum muatan lokal pada TK, SD, dan SLTP; dan untuk merencanakan, menetapkan dan mengelola pendidikan di antaranya adalah memfasilitasi peran serta masyarakat di bidang pendidikan, melaksanakan pembinaan dan pengembangan karir tenaga kependidikan, membina pengelolaan sekolah, dan melaksanakan inovasi pendidikan.

Bila menatap kebijakan yang ada di kabupaten Gresik, seharusnya bidang pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Daerah Gresik, dan sudah termaktub dalam renstra Kabupaten Gresik. Hal itupun, tentunya sejalan dengan arah kebijakan umum (prioritas pembangunan) kabupaten Gresik. Dengan begitu, misi pembangunan Gresik dapat dijalankan oleh dinas-dinas di unitnya masing-masing. Sehingga nanti misi kabupaten Gresik menjadi visi dari dinas-dinas.

Berdasarkan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, bahwasannya pendidikan diwenangkan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Termaktub dalam visi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik, yaitu mencita-citakan terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, dan sejahtera. Sementara, misi yang diharapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik adalah terwujudnya masyarakat yang agamis dan modern. Sayangnya, prinsip demokrasi, partisipasi, pemerataan, keadilan, yang memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dan merupakan hakekat otonomi daerah belum tampak.

Salah satu potensi daerah Kabupaten Gresik adalah madrasah. Dengan berbagai keanekaragamannya, madrasah sarat dengan permasalahan. Permasalahan itu timbul tatkala semua kebijakan (pemberian THR, mekanisme distibusi dan subsidi dana, sengketa guru dengan Yayasan, dll) dianggap tak dilandasi kepastian hukum dan tidak sesuai aturan.

Sejak pemberlakuan otonomi pendidikan di kabupaten Gresik pada tahun 2001, stereotif pada komunitas madrasah masih layak untuk ditindaklanjuti. Bila terkait dengan kebijakan yang ada saat ini, yaitu pemberian subsidi dan THR kepada guru swasta, namun tidak didasari kepastian hukum. Sehingga, dapat saja kebijakan tersebut diubah bahkan ditiadakan. Maka, perhatian Pemerintah Kabupaten Gresik terhadap permasalahan di atas perlu diupayakan.

Kondisi di atas, seharusnya ada indikator dan menjadi target dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik agar terjadi sinergi yang dinamis dan sehat antara lembaga negeri dan swasta. Untuk menunjang sinergi sebagaimana visi di atas, maka madrasah sebagai lembaga pendidikan agamis perlu persiapan dengan segera melakukan konsolidasi ke dalam. Bentuk konsilidasi ini dapat berupa pemberdayaan di tingkat internal pelaku dan komunitas madrasah agar kelak dapat menghadapai tantangan sebagaimana visi dan misi yang diamanatkan pemerintah daerah. Lebih lanjut, dituangkan dalam visi Subdin Pergurais, yaitu terciptanya lembaga pendidikan agama Islam yang berkualitas, minimal sejajar dengan lembaga pendidikan umum. Disebutkan pula dalam misi Pergurais kelak diharapkan meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajar (poin 4)

Rupanya, langkah-langkah Pemkab dalam memberi kebijakan, dirasa masih belum menyentuh esensi kebutuhan dan kepentingan subyek dan stakeholder pendidikan pada umumnya dan sangat signifikan apabila ada suatu kepastian hukum (regulasi) bagi guru madrasah maupun swasta yang ikut berpartisipasi dan berperan dalam pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal demikian, sejalan dengan pasal 8 UU Sisdiknas, bahwasannya masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sehingga, produk payung hukum yang tercipta kelak menjadi inisiatif bagi pembuat kebijakan Gresik (eksekutif dan legislatif), dan penentu kebijakan selanjutnya, untuk tetap perlu mengimplikasikan produk-produk hukum atas inisiatif masyarakat (bottom up). Proses di atas dapat diawali dengan munculnya inisiatif guru-guru madrasah dan komitmen yang kuat penentu kebijakan (anggota dewan, Dinas, dll.) untuk menjadikan pendidikan Gresik lebih baik dan bermutu. Lebih lanjut, akan sangat mudah bila saat ini sudah ada nilai esensial yang berjalan (usulan Guru madrasah dan komitmen penentu kebijakan) dan dapat menggagas suatu konsep ideal kepastian hukum peraturan di daerah.

Parameter keberhasilan pendidikan di Gresik secara umum (sosiologis, ekonomis, antropologis) belum pernah diteliti dan dikaji secara komprehensif, sehingga proses peningkatan kualitas pendidikan pada masyarakat Gresik "sampai saat ini" belum dapat diukur secara pasti, dan perlu ada tindakan nyata dari semua unsur masyarakat. Apalagi, dengan adanya moment Pemilu dan Pilkada, masyarakat Gresik cenderung refresif dan sangat rentan terhadap terjadinya berbagai krisis. Krisis multidimensi tersebut mengarah pada menurunnya kesalingpercayaan, baik secara horisontal maupun vertikal, baik dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten sehingga mengancam persatuan di daerah. Oleh karena itu, sektor pendidikan daerah, khususnya madrasah adalah bagian dari tantangan yang sangat berat untuk ikut mengatasi situasi krisis yang ada di kabupaten Gresik.

Berarti, konsekuensi logis sektor pendidikan, pada dasarnya tidak steril dari berbagai pengaruh sistem kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum. Sistem kehidupan tersebut seharusnya secara sinergis memberikan dukungan bagi setiap upaya pembangunan daerah. Akan tetapi, pada kenyataannya sistem yang ada belum dapat memberikan dukungan sepenuhnya, sehingga sektor pendidikan belum mampu ikut menanggapi secara optimal krisis multidimensi yang dihadapi Kabupaten Gresik saat ini.

Adanya upaya pembaharuan, pengembangan, dan pemberdayaan sistem pendidikan di daerah harus disikapi agar sistem itu mampu membackup berbagai tantangan di daerah. Upaya tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara menciptakan sistem pendidikan di daerah yang memiliki daya adaptabilitas yang tinggi dan berciri khas lokal. Dengan cara demikian sistem pendidikan daerah dapat menjaga kemanfaatannya bagi upaya pencerdasan masyarakat Gresik dan mampu menanggapi secara proaktif berbagai tuntutan kehidupan nasional, dan global.

Dalam era desentraslisasi, tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan daerah Gresik meliputi persoalan-persoalan yang terkait dengan rendahnya kesejahteraan guru swasta, kurangnya sarana dan prasarana pendukung, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM); sehingga hal itu terkait dengan pemerataan (siswa-guru), mutu (siswa-guru-lembaga), relevansi (pengangguran-drop-out), dan efisiensi dan efektifitas. Meski dilandasi kesadaran dari pelaku madrasah di Gresik, namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah pada saat ini masih bersifat insidental dan instant, serta dipandang hanya sebagai bentuk belas kasihan dari pemerintah.

Menurut pasal 11 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Ditambahkan, dalam pasal 11 ayat (2), bahwasannya Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendididkan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Maka, keberhasilan sistem pendidikan daerah (madrasah) dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut akan sangat menentukan kemampuan generasi mendatang untuk membangun kehidupan masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, sejahtera, dan demokratis.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan survey dan kajian yang dilakukan PATTIRO Gresik mulai tahun 2001 hingga 2003, persoalan yang muncul di komunitas madrasah meliputi jaminan kesejahteraan Guru Madrasah, pemberian kesempatan berkembang yang sama, transparansi dalam penentuan bantuan, peningkatan quota Guru yang diperbantukan ke Madrasah, kontribusi perusahaan di daerah ke Madrasah, kepastian jenjang karir bagi Guru Madrasah, BKM yang tidak imbang, pengelolaan Depag yang terpusat, Siswa MTs banyak yang tidak mampu, Implementasi tidak terarah, BKM dan BKG tidak merata, Implementasi tak sesuai aturan, distribusi anggaran/bantuan tidak transparan, pelibatan madrasah dalam penyusunan panitia bersama, pelibatan madrasah dalam rayonisasi, dan kebijakan UAS dikaji ulang.

C. Rumusan Masalah

Terkait dengan kompleksnya permasalahan yang ada di madrasah, yang menjadi tantangan dberkaitan dengan permasalahan madrasah meliputi:

1. Arah orientasi kebijakan

Pengambilan kebijakan, selama ini, masih saja bersifat top-down, mulai dari perumusan (perencanaan-penganggaran), pelaksanaan, maupun evaluasi. Minimnya peran dan partisipasi pelaku madrasah dalam setiap pengambilan kebijakan menyebabkan masalah baru dalam implementasi. Hal ini sebagai indikator bahwa relasi guru madrasah swasta (as a social society) dengan Pemerintah masih rendah. Rendahnya relasi dan posisi tawar guru madrasah menyebabkan berbagai permasalahan.

Pengambilan keputusan selama ini hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja di kalangan pemerintahan. Masyarakat umum dan madrasah pada khususnya kesulitan mengenai rencana yang disusun sebagai kebijakan pendidikan. Hal ini tentu mengurangi optimalisasi pelaksanaan, karena kebijakan yang diambil seringkali teralienasi dari kenyataan di lapangan.

2. Kebijakan Departemen Agama

Korelasi konkrit antara kebijakan yang ada, mulai dari Komite Sekolah/Majlis Madrasah, Kelompok Kerja Madrasah, sampai dengan Dewan Pendidikan, mengacu pada kebijakan Pusat. Kebijakan tersebut "memang" bertujuan agar pola hubungan antara masyarakat, wali murid, guru, dan yayasan serta pemerintah cukup berimbang dan saling bahu-membahu dalam mengembangkan dan meningkatkan mutu madrasah. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, implementasi kebijakan tersebut masih sebatas formalitas. Kultur yang demikian perlu pemberdayaan paradigma bagi pelaku dan stakeholder pada umumnya.

3. Pelaksanaan evaluasi

Saat ini, berbagai mekanisme tentang pengalokasian dana untuk penyelenggaraan UAS di setiap madrasah, bantuan dana operasional pendidikan, dan distribusi pengawasan Madrasah - umum swasta tidak berimbang. Ini dirasakan memberatkan dari segi pendanaan, waktu pengajaran yang berkurang dan tidak efektif.

Padahal, bila mengacu pada SKB antara Diksar dan Dikmen Depdiknas dan Dirjen Bagais Depag No. 36/C/Kep/PP/2000 dan No. E/25A/2000 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN EVALUASI BELAJAR TAHAP AKHIR NASIONAL TAHUN PELAJARAN 1999/2000, sekolah/madrasah yang mempunyai status diakui diperbolehkan untuk menyelenggarakan ujian sendiri. Terkecuali sekolah/madrasah yang belum memiliki status diakui atau disamakan. Namun pada kenyataanya, madrasah yang sudah memiliki status diakui dan disamakan masih harus mematuhi kebijakan SKB Dikbud dan Depag Gresik tentang pengawasan mata pelajaran umum dan agama. Sehingga, mata pelajaran umum menjadi kewenangan pengawas sekolah umum, sementara beban anggaran, ada pada madrasah yang bersangkutan. Hal itu disebabkan karena mata pelajaran yang diampu oleh pengawas mata pelajaran agama dan umum tidak sama.

Dalam hal layanan informasi yang berkaitan dengan perencanaan anggaran, dominasi Pemerintah terlalu kuat dibanding masyarakat. Seharusnya, berdasarkan ketentuan pasal 59 ayat (2) UU. No. 20 Tahun 2003, bahwasannya masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dalam pasal 58.

Tambahan pula, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana kabupaten Gresik, layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Dari 115.313 usia 0-6 tahun, yang terlayani pendidikannya hanya sekitar 20 %. Usia 7-12 tahun yang belum terlayani pendidikannya sekitar 1.596 anak, usia 13 - 15 tahun sebanyak 4.434 anak, dan anak usia 16 - 18 tahun sebanyak 22.671 anak, lainnya melalui kelompok bermain (Kompas, 20 Juni 2003)

Berkaitan dengan output lulusan, diperkirakan, setelah adanya kebijakan Kepmen Diknas RI Nomor 011/U/2002, Kepmen Diknas RI Nomor 012/U/2002, Kakandikbud Jatim Nomor 050/64/108.03/2003, dan Edaran Kakanwil Depag Jatim Nomor W.m/6-a/PP.01.1/204/2003 tentang Surat Tanda Kelulusan (STK) dan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dengan bahwa peserta ujian dianggap lulus hanya jika nilai rata-ratanya 3,00 dari nilai murni Ujian Akhir Nasional (UAN). Dengan demikian standar nilai ini akan semakin menambah jumlah anak yang tidak berhasil lulus dan putus sekolah. Selanjutnya ketidaklulusan ini akan menyulitkannya dalam mencari pekerjaan dan menambah pengangguran. Bahkan, tahun depan telah direncanakan pemberlakuan standar nilai minimal kelulusan adalah 4,01.

Menurut data BKKBN Gresik, laju pertumbuhan penduduk Gresik tahun 2002 diproyeksikan akan mencapai 1,65 persen (BKKBN, 2002). Lebih dari separuh penduduk (60%) terkonsentrasi di pedesaan. Dengan demikian, kebutuhan akan kesempatan memperoleh pendidikan akan meningkat, seiring dengan meningkatnya anak usia sekolah.

Hal itu menandakan bahwa, ketidakmerataan memperoleh kesempatan pendidikan terutama terjadi pada kelompok-kelompok: (a) masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil (0.0872), (b) keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya., (c) wanita, indikatornya adalah pendidikan ibu terakhir tamat SD/MI (24,4 %) dan tamat SMP/MTs (25,2 %) (Balitbangda, 2004) Persoalan itu berakibat lebih lanjut pada ketimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Di samping itu, masalah tersebut dapat menghambat penegakan hak asasi manusia. Semua persoalan itu, pada gilirannya, dapat menghambat pembangunan kabupaten Gresik menuju terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, demokratis, berkeadilan, dan sejahtera. Tantangan tersebut perlu segera dijawab melalui kebijakan dan strategi yang tepat.

4. Mutu Pendidikan

Dalam aspek mutu kinerja sistem pendidikan belum sesuai dengan harapan daerah Gresik, bahkan cenderung menurun, apalagi memenuhi standar nasional. Hal ini tandai dengan masih banyaknya jumlah penduduk yang buta huruf, yaitu berkisar 5.999 jiwa. Berdasarkan indek pengembangan manusia (IPM), IPM Gresik mencapai 0,62 %. Artinya, angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan standar hidup layak masyarakat Gresik dikategorikan menengah ke bawah. (Balitbangda, 2004)

Selain itu, ukuran standar kinerja belum ada. Anehnya, sudah tercantum Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) pada RAPBD 2004 (bisa dikaji ulang adanya pasal 2 (4) huruf b PP No. 25 Tahun 2000 dan pasal 8 dan 20 (1) PP. No. 105 Tahun 2000). Sehingga, indikator pengukuran satuan kinerja per unit sulit diukur. Teorinya, indikator rendahnya mutu pendidikan; untuk siswa dapat dilihat pada jumlah siswa yang lulus dibanding siswa yang tinggal kelas dan putus sekolah. Guru, dilihat dari kualifikasi dan kompetensi dibanding kesejahteraan, masyarakat yang melek huruf dibandingkan dengan yang buta huruf. Jumlah angka usia produktif dan angka pengangguran berdasarkan kualifikasi pendidikannya.

Menurut Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Greanery, 1992), studi IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Selain itu, hasil studi The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) 1999 memperlihatkan bahwa, di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika.

Aspek lain yang sangat perlu diperhatikan adalah kemerosotan akhlak dan moral masyarakat Gresik. Indikator-indikatornya adalah merebaknya pemakai narkoba (sekitar tahun 2003 banyak penangkapan pemakai dan pengedar narkoba di warung kopi), praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme, judi togel, berbagai pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia (psk, miras, perkosaan), dan ketidakmampuan menyelesaikan kasus-kasus di komunitas terkait (PHK buruh plywood, trawl-nelayan). Indikator lain adalah eksploitasi pengelolaan sumber daya alam (asmeralda heiss, polowijo) sehingga diprediksi akan menambah jumlah pengangguran. Kegagalan pendidikan dalam membentuk moral kepribadian masyarakat Gresik tentu saja ikut memberikan andil pada masalah ini.

Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa upaya pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat selama ini belum berhasil memfasilitasi pengembangan masyarakat Gresik dengan segala ciri khas yang diinginkan, seperti telah disebut pada tujuan pendidikan nasional dalam UU SPN RI 2003.

Tantangan yang berkaitan dengan kualitas ialah bagaimana menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di era global, paling tidak untuk memberi keseimbangan antara lulusan negeri dan swasta. Keunggulan itu dapat dicapai melalui penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta keterampilan hidup yang bermartabat.

5. Relevansi

Pendidikan di Gresik juga masih mengalami masalah relevansi. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kehidupan dapat dilihat dari banyaknya pengangguran, seperti ditunjukkan oleh data BKKBN 2002, jumlah pengangguran usia produktif 19 -35 tahun sebanyak 21.367 orang. Sementara jumlah penduduk yang masih belum mengenal huruf atau buta aksara mencapai 5.999 penduduk.(Kompas, 20 Juni 2003)

Di samping itu, berdasarkan data Balitbangda Gresik, bahwa jenjang pendidikan masyarakat Gresik masih rendah (30,85 %). Sementara itu, sulitnya lapangan pekerjaan di kabupaten Gresik akan menambah beban sosial di kemudian hari. Bahkan, berdasarkan data Dikbud, 2001/2002, tingkat anak putus sekolah untuk tingkat SD/MI sebesar 0,13 %; SLTP/MTs sebesar 0,60 %, dan 0,94 % untuk SM/MA. Kecilnya Angka Putus Sekolah akan menambah jumlah pengangguran. Ini berarti bahwa kurikulum pendidikan tidak menyiapkan peserta didik untuk siap bekerja.

Tantangan relevansi pendidikan berkaitan dengan perubahan struktur ekonomi dari agroindustri dan manufaktur ke teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi. Dalam struktur ekonomi agroindustri dan manufaktur, manajemen masih bertumpu pada tenaga manusia dengan pengetahuan dan keterampilan teknologi menengah ke bawah. Sementara itu, dalam era informasi dan komunikasi, manajemen bertumpu pada teknologi tingkat tinggi. Dalam kenyataannya pendidikan masih berorientasi pada cara-cara yang konvensional sehingga menuntut pergeseran prioritas dan diversifikasi sasaran program pendidikan keterampilan hidup yang berorientasi pada kebutuhan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan struktur ekonomi baru tersebut.

Implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan tersebut menggambarkan rendahnya kualitas potensi sumber daya manusia di Kabupaten Gresik untuk dapat memanfaatkan peluang bekerja pada sektor formal yang cenderung membutuhkan kualifikasi latar belakang pendidikan lebih tinggi. Idealnya transformasi struktur ekonomi Kabupaten Gresik yang telah berciri industri dapat dimanfaatkan oleh kelompok umur produktif (15 sampai 65 tahun) sebagai mata pencaharian utama apabila tingkat pendidikan yang dipersyaratkan oleh kesempatan kerja berkesesuaian satu dengan lainnya. Namun peluang kerja di sektor formal yang membutuhkan tingkat pendidikan formal setingkat SMA diisi oleh pencari kerja dari daerah lain, karena rendahnya rata rata tingkat pendidikan penduduk di wilayah Kabupaten Gresik.

Sementara, tantangan relevansi terhadap madrasah sendiri berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan di daerah. Sebagian besar masyarakat, lebih memilih anak-anaknya yang melanjutkan ke madrasah yang lebih agamis. Madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan formal yang berpotensi membentuk siswa berwawasan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dan juga dibekali iman dan taqwa. Secara kuantitas, antara madrasah, sekolah negeri, dan sekolah swasta, madrasah lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa, animo dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan yang bernuansa Islam di Gresik masih kental.

6. Efisiensi dan efektifitas

Pengelolaan pendidikan madrasah Gresik masih belum efisien. Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari sejumlah kenyataan berikut: penyebaran guru yang tidak merata, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu pendek, jam belajar yang tersedia tidak digunakan secara optimal, dan pengalokasian dana yang tidak tepat. Penyebaran dan penemapatan guru negeri dan guru kontrak juga sering tidak tepat sasaran, misalnya penugasan guru di lembaga yang sebenarnya tidak terlalu membutuhkan. Sering juga guru-guru yunior justru ditempatkan di derah-derah terpencil yang masalahnya lebih berat, sedangkan guru senior yang lebih berpengalaman malah ditempatkan di derah-daerah "nyaman" yang relatif tidak terlalu berat permasalahannya. Tentang bangunan fisik, pada tahun 1998/99 telah dibangun 173 SD-MI di seluruh Gresik, tetapi dari sejumlah itu, sebanyak 19 sekolah berada dalam kondisi rusak total.(Kompas, 28 maret 2003)

Dana pendidikan Gresik sampai tahun 2003 masih mendapat alokasi sangat rendah, yaitu 8,3 persen dari APBD. Ini jauh lebih rendah dibandingkan daerah lain, misalnya Kediri yang menganggarkan tidak kurang dari 12 persen APBD. Baru untuk rencana anggaran tahun 2004, Gresik menganggarkan sekitar 12 persen. Padahal berdasarakan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas mengamanatkan alokasi minimal anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBD.

Tantangan yang berkaitan dengan efisiensi ialah bagaimana mewujudkan manajemen pendidikan yang memberdayakan peran serta masyarakat, institusi lokal, dan tenaga kependidikan secara demokratis dan efisien. Tantangan untuk meningkatkan efisiensi manajemen juga mencakup upaya mengintegrasikan semua jenis pendidikan formal dan nonformal dalam satu tatanan sistem pendidikan daerah sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa. Selain itu, pendidikan kejuruan yang telah dikembangkan dalam berbagai jenis program ditemukan masih menghadapi permasalahan cukup mendasar, yaitu kurikulum yang kurang luwes dan beaya yang terlalu mahal. Tantangan lainnya pengelolaan anggaran pendidikan yang belum berorientasi pada prinsip efisiensi dan ketergunaan, masih diskriminatif berdasarkan status negeri dan swasta dan penyamarataan subsidi untuk masyarakat kota dan pedesaan. Dari data usulan proyek bidang Kesra Diknas kabupaten Gresik APBD 2003, masih ditemukan daftar usulan proyek ganda seperti: Proyek Pembuatan RIP Proyek, Profil Pendidikan dan Penjaringan Data seluruh jenjang Pendidikan, dan Koordinasi dan Evaluasi Penuntasan Wajib Belajar. Ini menandakan bahwa perencanaan pendidikan belum efisien.

Meningkatkan kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi pendidikan yang bertumpu pada Manajemen Berbasis Sekolah dan Otonomi Perguruan Tinggi merupakan tantangan lainnya untuk meningkatkan efisiensi pendidikan. Peran pengelola pendidikan sebagai penyelenggara dan pengawas pendidikan harus diubah menjadi peran pemberian bantuan teknis dan sebagai fasilitator bagi satuan pendidikan. Tanggung jawab operasional harus berada sepenuhnya pada lembaga pendidikan atas dukungan masyarakat setempat sebagai perwujudan dari prinsip otonomi pendidikan. Secara keseluruhan tantangan efisiensi adalah bagaimana merevitalisasi dan mereposisi sistem pendidikan nasional menjadi pranata sosial yang kuat dan berwibawa.

7. Guru

a. Kepastian Hukum dan jaminan masa depan

Saat ini guru madrasah tidak mempunyai kepastian status hukum. Seringkali guru madrasah tidak dibekali kontrak apapun dengan institusi dimana ia bekerja. Pengangkatan menjadi guru negeripun tidak mempunyai kepastian. Status tersebut menjadikan guru madrasah berada pada posisi yang rawan dan lemah. Guru madrasah menjadi rentan terhadap pemutusan kerja secara sewenang-wenang. Selain itu dengan status tidak jelas maka guru madrasah akan kesulitan untuk menegakkan profesionalisme dalam mengajar.(Kompas, 18 maret 2003)

b. Kepastian Jenjang Karier Guru Madrasah

Tidak ada kepastian waktu dan parameter prestasi untuk membangun karier bagi guru madrasah. Dengan demikian guru madrasah tidak dapat membayangkan akselerasi masa depannya. Hal ini akan mereduksi kualitas guru dan pengajaran yang akhirnya akan mereduksi kualitas sumber daya manusia didik di Kabupaten Gresik.

c. Tingkat Kesejahteran

Sebagian besar guru madrasah saat ini hanya di gaji Rp.20.000,- sampai Rp.40.000,- perbulan, dengan insentif dari Pemkab Gresik Rp.6.800 perbulan . Pendapatan guru tersebut sangatlah minim bila dibandingkanan dengan buruh pabrik. Walaupun sudah terdapat kenaikan insentif bagi guru swasta umumnya terutama sejak tahun 2000, namun tetap saja tidak memenuhi standar kelayakan hidup. Selain itu nilai intensif tersebut tidak dapat dijamin akselerasinya, karena tidak adanya payung hukum. Artinya hal tersebut sangat terkandung pada niat baik pemerintah saja, sehingga sewaktu-waktu dapat berubah.

d. Pemerataan kesempatan

Menurut EMIS (Education Management Information System) terdapat data nasional yang sangat mengejutkan di mana pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) terdapat 78,83% guru yang mengajar bidang studi di luar latar belakang pendidikannya. Sedangkan pada tingkat MTs, angkanya sebesar 47,68 persen .

Rendahnya kualitas sumber daya manusia pengajar yang tercermin dari ketidaksesuaian latar belakang pendidikan formalnya tersebut, pada gilirannya akan berpengaruh secara signifikan terhadap rendahnya mutu pendidikan yang pada akhirnya akan menghasilkan siswa didik dengan kualitas yang rendah pula.

8. Kurangnya Sarana dan Prasarana Pendidikan

Pada tahun 2003 sebanyak 786 ruang kelas dari 257 sekolah dasar dan madrasah di Kabupaten Gresik dalam kondisi rusak. Akibatnya kegiatan belajar mengajar para siswa di beberapa sekolah terpaksa dipindahkan ke ruang kelas lainnya yang kondisinya lebih baik .

Walaupun pada tahun 2003 pihak dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gresik telah menganggarkan dana sebesar Rp. 5,2 Milyar dari APBD ditambah dana alokasi khusus dari pemerintah pusat sebesar 1,5 Milyar, namun kerusakan itu terlanjur terjadi dan mengganggu proses belajar mengajar.

Selain sarana ruang belajar yang kurang dan tidak memadai, sarana-sarana lainnyapun seringkali kurang memadai bahkan tidak tersedia, seperti tempat olah raga, perpustakaan, laboratorium, ruang kesenian dll. Begitu pula dengan prasarana pendidikan seperti alat peraga, perlengkapan olah raga, buku-buku rujukan, alat-alat kesenian dll.

9. Sosial ekonomi siswa madrasah

Berdasarkan data Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, nampak bahwa latar belakang murid madrasah; 40 persen orang tua mereka adalah petani kecil, 20 persen buruh rendah dan 17 persen pedagang. Jadi para murid madrasah rata-rata berasal dari latar belakang golongan keluarga menengah ke bawah .

10. Kesejahteraan

Selama ini subsidi untuk siswa MI hanya Rp 20.000,- per murid per tahun, jauh dibawah siswa SD sebesar Rp.100.000,- per murid per tahun. Siswa MTs Rp. 27.000,- sedangkan SLTP Rp. 46.000, dan siswa MA menerima subsidi Rp. 40.000,- sementara siswa SMU menerima subsidi Rp. 67.000,- .

Bila melihat mekanisme distribusi bantuan, penentuan BKM merupakan Proyek Dirjen Dikmenum Diknas, yang pendataannya atas rekomendasi Dinas Pendidikan Kab dan Dewan Pendidikan. Berdasarkan data, besar bantuan untuk Kabupaten Gresik:

Sekolah Umum Jumlah Madrasah Jumlah Besar Bantuan

SD 22 MI 8 20.000.000
SMP 16 MTs 5 30.000.000
SMU 4 MA 2 40.000.000

Para guru honorer yang mengajar di sekolah umum mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar Rp. 75.000 perbulan, sedangkan guru honorer di lingkungan madrasah sama sekali tidak menerima bantuan. M. Qosim dalam Semiloka, 26 Oktober 2003 yang diadakan PATTIRO menyatakan bahwa "insentif pada tahun 2003 sebesar 6.500 dan pada tahun 2004 sebesar 12.000''. Dari data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan madrasah merupakan anak tiri pendidikan nasional kita .

Pemerintah Kabupaten Gresik telah melakukan usaha peningkatan kesejahteraan guru. Hal itu nampak pada insentif guru sebesar Rp.75.000,- perbulan pada tahun 2002 dan Rp. 100.000,- perbulan pada tahun 2003. Pemerintah Kabupaten Gresik pun memberi THR sebesar Rp. 50.000,- pada tahun 2002 dan Rp 100.000,- pada tahun 2003. Namun demikian akselerasi bantuan kesejahteraan tersebut membutuhkan payung hukum yang lebih tegas agar lebih mendapatkan legitimasi yang pasti. Lebih parah lagi, di lapangan ditemukan pemotongan PPh sebesar 15% dan imbal jasa yang tidak ada dasar hukumnya. Pemotongan imbal jasa tersebut jumlahnya berlainan di masing-masing madrasah. Total pemotongan besarnya bisa mencapai Rp 100.000,- perguru.

11. Distribusi dan subsidi bantuan

Dalam hal distribusi bantuan, baik dari Pusat (Diknas-Depag) tidak tersosialisasikan dengan baik. Sehingga ini menyulitkan madrasah swasta untuk membuat format pengajuan beserta syarat-syaratnya. Belum meratanya RAPBM pada tiap satuan pendidikan belum tergarap dengan baik. Selama ini anggaran dan penentuan bantuan bagi madrasah hanya diketahui oleh kalangan sangat terbatas. Sehingga seringkali madrasah tidak mengetahui hak sesungguhnya. Karena terbatasnya transparansi maka menyulitkan pengawasan yang akan dilakukan. Hal ini membuka peluang sangat besar bagi tindakan-tindakan KKN.

D. Manfaat dan Urgensi

1. Kebijakan menjadi bottom up melalui partisipasi masyarakat sehingga dapat membantu kebijakan dan pelaksanaan pendidikan di Kabupaten Gresik.

2. Mengurangi kebijakan yang terpusat di Departemen Agama dengan meningkatkan partisipasi kalangan madrasah di Kabupaten Gresik dalam kebijakan dan pengelolaan pendidikan, termasuk di dalamnya adalah rayonisasi dan pelaksanaan serta pengawasan UAS.

3. Meningkatkan pemerataan kesempatan pendidikan bagi masyarakat Gresik.

4. Meningkatkan mutu pendidikan madrasah.

5. Meningkatkan relevansi pendidikan madrasah dengan kebutuhan masyarakat.

6. Melaksanakan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di daerah.

7. Menjamin kepastian status hukum guru madrasah untuk diangkat menjadi guru kontrak atau guru negeri; menjamin kepastian jengjang karier guru madrasah; meningkatkan kesejahteraan dan insentif rutin untuk guru madrasah yang dilandasi kepastian hukum; meningkatkan kualitas sumber daya manusia pendidik.

8. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan.

9. Memberi solusi bagi sejumlah besar siswa-siswa madrasah yang sebagian besar berasal dari golongan keluarga ekonomi rendah.

10. Meningkatkan pemerataan dan proporsi BKM serta BKG.

11. Menyelenggarakan kebijakan secara transparan dan terawasi dalam anggaran dan penentuan bantuan serta kebijakan pendidikan.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Aspek Filosofi
"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dari kalian dan juga orang-orang yang diberi ilmu, Allah maha waspada dengan apa-apa yang kalian kerjakan".
(Q.S.Almujadalah:11).

"Janganlah kalian mengerjakan sesuatu yang kalian tidak memiliki ilmunya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, kesemuanya akan ditanya tentangnya".
(Q.S. Al'isra': 36).

"Mencari ilmu (Ngaji) adalah wajib bagi setiap orang Islam, dan orang yang meletakkan ( memberikan ilmu ) kepada yang bukan ahlinya, bagaikan mengalungi babi dengan mutiara, berlian, dan emas".
(H.R. Ibnu Majah).

Mencari ilmu dikatakan jihad seperti pendapat Mu'adz bin Jabal berkata, "Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah tanda takut kepada Allah, mencarinya ibadah, mengingat-ingatnya tasbih, pembahasannya jihad, mengajarkannya bagi yang belum tahu

shadaqah, menyumbangkannya bagi yang berhak adalah taqarrub kepada Allah."

Ilmu dalam agama Islam sangat tinggi kedudukannya, oleh karena itu kaidah keilmuan membutuhkan suatu sistem yang memberi kontribusi pada peradaban dimana manusia hidup. Madrasah adalah bagian dari sistem yang kontributif pada peradaban tersebut dimana hakekat madrasaha adalah membangun manusia untuk mengembangkan intelektual dan spiritual.

Madrasah mempunyai content yang mulia, sebagai suprastruktur ilmu maka madrasahpun merupakan suatu fasilitas yang mulia. Oleh karena itu sudah seharusnya madrasah mempunyai kedudukan sesuai dengan martabatnya. Madrasah tidak bisa dipertahankan apa adanya, tetapi untuk dikembangkan mencapai derajat kemuliaannya, sehingga madrasah secara maksimal dapat mengembangkan dan mengakselerasi intelektualitas dan spiritualitas manusia didiknya.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan adalah lembaga manusia untuk mengangkat derajatnya (Almujadalah:11) dan mengerjakan sesuatu dengan memiliki ilmunya (Al'isra':36).

Dalam falsafah kehidupan bernegara dan berbangsa pada Sila ke satu Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa; Sila ke dua Pancasila : Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Sila ke lima Pancasila : Keadilan sosial bagi seluruh Bangsa Indonesia. Maka madrasah mempunyai korelasi signifikan dengan falsafah Bangsa dan Negara Indonesia tersebut.

Eksistensi madrasah terutama adalah mengembangkan manusia didiknya untuk mencapai "Ketuhanan Yang Maha Esa"-nya dan mencapai "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab"-nya. Namun sebagai institusi yang dimiliki masyarakat merupakan bagian juga untuk menerima "Keadilan sosial bagi seluruh Bangsa Indonesia". Karena sejak zaman penjajahan sampai saat ini posisi madrasah selalu berada dalam posisi marginal . Saat ini pemerintah melalui UU No. 20 Tahun 2003 memang secara tegas masyarakat Jawa Timur sadar bahwa hal di atas tidak dapat diperoleh tanpa usaha. Oleh karena itu mengembangkan madrasah adalah merupakan usaha tanpa henti sebagai bagian antara dalam memakmurkan masyarakat. Madrasah senantiasa harus dibangun untuk mencapai martabatnya yang senantiasa berkembang, karena eksistensi madrasah dalam menjawab tantangan zaman dan memberi kontribusi pada setiap perkembangan peradaban manusia. Sudah bukan saatnya lagi madrasah terlambat menjawab tantangan zaman, dan tertinggal dalam pengembangan peradaban manusianya.

Filosofi Kabupaten Gresik adalah Setya Bima Kerta Hardja mengandung arti kota yang kuat dan setia. Ditengah arus modernisasi yang cenderung pada pengembangan kultur westernisation, dan sejarah marginalisasi yang panjang terhadap madrasah adalah suatu keajaiban bahwa madrasah di Kota Gresik berperan dalam mendidik 40% dari seluruh siswa yang ada di Kota Gresik. Bersama manusia didiknya yang 77% berasal dari golongan ekonomi rendah, maka madrasah masih bertahan. Madrasahpun setia dalam mengembangkan masyarakat Gresik, termasuk setia pada keberpihakannya pada masyarakat golongan bawah. Sudah saatnya madrasah mendapat penghargaan lebih karena madrasah Kabupaten Gresik adalah bagian dari identitas Kota Gresik yang kuat dan setia.

B. Aspek Yuridis
Undang - Undang Dasar 1945
Menurut Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa:
".untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilam sosial,..."
Perubahan ke-4 UUD 1945
Pasal 31 ayat 1:
"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan."
Pasal 31 ayat 2 :
"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."
Pasal 31 ayat 3 :

"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 31 ayat 4:

"Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Pasal 31 ayat 5

"Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia."

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003

Pasal 17 ayat 2:

Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Pasal 18 ayat 3:

Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Pasal 36 ayat 1:

(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional

Pasal 39 ayat 1 dan 2:

(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.

Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Pasal 40 ayat 1:

Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:

a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;

b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;

d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

Pasal 43 ayat 1:

Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.

Pasal 46 ayat 1 dan 2:

1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 47 ayat 1 dan 2:

1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.

(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 49 ayat 1:

(1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pasal 55 ayat 1, 2, 3 dan 4 :

(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah

Sampai saat ini urusan pembinaan madrasah dari jengjang MI, MTs hingga MA masih berada pada Departemen Agama. Jadi urusan madrasah tidak berada pada pemerintah kabupaten dan kota. Segala urusan mengenai anggaran, pengadaan sarana belajar, tenaga pengajar termasuk standarisasi mutu masih berada dalam kewenangan Departemen Agama. Bila mengkaitkan muatan UU No. 20 Tahun 2003 dengan SKB Tiga Menteri 1975 yang mengacu pada asas Pancasila, GBHN (TAP MPR Nomor II/MPR/1990); Menag Nomor 6 tahun 1975; Mendiknas Nomor 037/U/1975; Mendagri Nomor 36 tahun 1975; Kepmenag, Kepmentrans, dan Menkop Nomor 46/A/1972, 186/Kpts/Mentranskop/O/1972 tanggal 1 Mei 1972. Subtansi kebijakan tersebut bertujuan:

a. Meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah (± 70 %) mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajaran umum, sehingga ijazah bernilai sama, lulusan sama, dan siswa mempunyai peluang sama.

b. Peningkatan mutu madrasah di bidang kurikulum, buku pelajaran, sarana prasarana, alat pembelajaran dan pengajar (Guru)

c. Tugas pembinaan:
· Pengelolaan : Menteri Agama
· Pembinaan pelajaran Agama : Menteri Agama
· Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum: Menag, Mendikbud, dan Mendagri

d. Bantuan Pemerintah Pusat ke Madrasah
1. Mata Pelajaran Umum
2. Sarana fisik melalui upaya : pelatihan dan perbantuan mengajar
3. sarana fidik dan RKB; diatur lebih lanjut oleh 3 Menteri

e. Beban anggaran:
· Pembinaan melalui Depag, sedang bantuan melalui Dikbud dan Depdagri.

Walaupun SKB tersebut sudah dianggap tidak berlaku lagi setelah terbitnya UU Sisdiknas 2003, namun bisa dijadikan sebagai tolak ukur yang melatarbelakangi legalitas madrasah.

Sebelum terbitnya UU Sisdiknas, Depag pernah berupaya untuk mendesentralisasikan madrasah ke daerah. Pendesentralisasian tersebut dimaksudkan untuk minimalisir ketimpangan alokasi anggaran terhadap sekolah umum dan madrasah.(Kompas, 26 november 2002)

C. Aspek Sosiologi

Sebagian besar masyarakat Gresik adalah buah hasil dari pendidikan di Madrasah. Bahkan, para pejabat teras yang sekarang pun tak luput dari didikan Guru Madrasah. Seharusnya, masyarakat Gresik memandang Madrasah sebagai lembaga yang telah mengkader masyarakat Gresik ke arah masyarakat yang sadar akan dirinya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (agamis), beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.. Dengan pandangan demikian, Guru Madrasah dipandang sebagai makhluk yang berharkat, bermartabat dan mempunyai kesejahteraan yang memadai. Sehingga, program-program pendidikan harus berorientasi pada kesejahteraan Guru madrasah dan harus dilaksanakan dengan merujuk pada pandangan ini secara konsisten. Artinya, semua program pendidikan harus diorientasikan pada terbentuknya masyarakat yang berkeadilan, sejahtera, yang berkembang segala potensinya, dan bertanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negaranya dalam konteks pluralitas dalam berbagai aspek kehidupan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Saat ini terdapat 352 lembaga pendidikan madrasah ibtidaiyah, 120 lembaga madrasah tsanawiyah dan 55 lembaga madrasah aliyah. Jadi terdapat 527 lembaga pendidikan madrasah. Madrasah tersebut tersebar dalam 18 kecamatan di Kabupaten Gresik. Jumlah guru di madrasah adalah 36.877 orang yang mengajar pada kurang lebih 81.720 siswa . Dari 202.215 siswa yang ada di gresik maka sekitar 40%-nya adalah siswa madrasah, hal ini merupakan angka yang signifikan.

Madrasah merupakan salah satu pranata sosial yang penting bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang demokratis, sehingga ia harus diberdayakan sejajar dengan pranata hukum, pranata sosial-budaya, ekonomi dan politik. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pranata pendidikan masih terlalu lemah sehingga kurang mampu membangun masyarakat belajar. Akibatnya, persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul, seperti disintegrasi sosial, konflik antarlembaga, kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pola hidup konsumtif dan hedonistik tidak dapat segera ditangani secara tuntas. Oleh sebab itu, untuk saat ini dan masa yang akan datang perlu dibangun dan dikembangkan sistem pendidikan daerah atas dasar kesadaran kolektif masyarakat dalam rangka ikut memecahkan berbagai masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia.

Di samping itu, ada persoalan yang terkait dengan masalah ketimpangan struktur kewenangan pengelolaan. Di tingkat Kabupaten, ada Depag dengan Mapendanya dan Dikbud dengan Perguraisnya, serta Dewan Pendidikan. Di satu sisi juga ada LP. Ma`arif dan Dikdasmen Muhammadiyah yang konsisten pada madrasahnya masing-masing. Begitupun di tingkat Kecamatan, ada PPAI, KKM, Kortan, dan lainnya. Secara riil lembaga yang ditangani penyelenggara pendidikan di Gresik terjadi dualisme, terkotak-kotak, dan rawan konflik. Kenyataan ini perlu dipertimbangkan secara proporsional dalam membuat kebijakan di tingkat pengelola maupun sekolah.

Persoalan lain yang dihadapi masyarakat saat sekarang berkenaan dengan adanya disparitas sosial-ekonomi yang makin tajam. Pandangan masyarakat terhadap Guru Tidak Tetap, Guru Bantu, dan PNS menjadi sorotan para GTT di daerah. Untuk mengatasi masalah tersebut, sistem pendidikan daerah secara sosiologis perlu dirancang untuk menghilangkan disparitas yang ada.

Secara geografis masyarakat Gresik bermukim di berbagai pedesaan yang tersebar luas, bahkan ada yang berada di kepulauan yang wilayah daratannya kurang lebih seperenam dari wilayah Gresik. Dalam situasi seperti ini, program pendidikan harus didukung oleh teknologi komunikasi yang memadai.

Dalam era global seperti sekarang ini, segala macam informasi dapat tersebar lintas daerah pedesaan dengan bebas tanpa hambatan apa pun. Dalam konteks ini, ketidaksamaan kemampuan mengakses informasi mempertajam kesenjangan sosial dalam masyarakat. Di samping itu, nilai-nilai budaya lokal/kearifan lokal juga menghadapi tantangan baru dalam hal penyesuaian diri dengan tatanan baru sistem kehidupan. Untuk itu perlu dilakukan upaya agar masyarakat mampu menyerap nilai-nilai baru secara terus-menerus tanpa kehilangan jati diri. Kesinambungan nilai-nilai kehidupan yang hakiki dan nilai-nilai yang muncul bersama dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perlu selalu dijaga. Oleh karena itu, sistem pendidikan daerah perlu diarahkan untuk memperkuat jati diri lokal di hadapan bangsa tanpa mengisolasi diri dari percaturan nasional dan dengan demikian sistem itu mampu meningkatkan harkat dan martabat daerah Gresik secara berkelanjutan.

BAB III
PEMBAHASAN
Landasan Pembangunan Pendidikan Kabupaten Gresik

Visi, Misi dan Tujuan

Visi Madrasah Kabupaten Gresik
Untuk memperkuat komitmen masyarakat Gresik dalam membangun pendidikan di daerah, perlu dirumuskan visi pendidikan Kabupaten Gresik. Rumusan visi pendidikan kabupaten Gresik adalah:

Terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis dan modern.

Rumusan visi tersebut memiliki beberapa manfaat. Pertama, masyarakat Gresik diharapkan dapat membangun komitmen dan menggerakkan segenap komponen masyarakat untuk membangun sistem pendidikan madrasah sebagai salah satu pranata sosial yang agamis dan modern sehingga mampu menghasilkan standar keunggulan yang berciri khas lokal. Pranata sosial yang demikian adalah yang didukung oleh sumber daya manusia profesional, infra struktur dan sarana pendukung yang mendidik, dengan manajemen berasaskan keterbukaan yang dinamis dan mengutamakan peran serta masyarakat sehingga memiliki daya tawar yang kuat terhadap pranata-pranata sosial yang lain. Kedua, visi tersebut dapat menciptakan makna pendidikan bagi masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk menjembatani keadaan sekarang dengan masa yang akan datang. Terakhir, dalam jangka panjang, dengan visi tersebut masyarakat Gresik mampu melakukan pembudayaan dan pemberdayaan sistem, iklim, dan proses pendidikan di Gresik yang demokratis dan mengutamakan mutu dalam perspektif daerah nasional, internasional, dan global.

Visi ini dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam membangun kehidupan yang berharkat dan bermartabat bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya. Di samping itu, sistem pengelolaan madrasah di daerah diyakini akan mampu mencerahkan dan memberdayakan pranata sosial lainnya (ekonomi, hukum, pemerintahan, sosial, budaya, agama, dsb.) bagi keberlangsungan hidup individu dan masyarakat untuk menjawab tantangan pembangunan daerah nasional dan global. Dengan demikian, terjadi interaksi secara fungsional antara peserta didik, lembaga pendidikan dan pranata sosial terkait lainnya dalam satu tatanan sistem pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang sinergik dan produktif.

Misi Pendidikan Kabupaten Gresik

Misi pendidikan Gresik adalah:
1) Mengoptimalkan pembinaan agama sampai pada tataran action.
2) Menjadikan lembaga pendidikan sebagai pemberi jasa layanan kepada masyarakat dan meletakkan siswa dan orang tua sebagai customer yang harus dihormati dan didengar kebutuhannya.
3) Mengusahajkan terbentuk dan berfungsinya komite sekolah pada semua lembaga dan Dewan Pendidikan pada kantor Dinas dan Cabang di seluruh kabupaten Gresik sebagai partner dalam pengambilan kebijakan.
4) Mengintruksikan agar seluruh lembaga menerapkan MPMBS sebagai jawaban terhadap isu rendehnya manajemen pendidikan.
5) Memasukkan bahasa Inggris sebagai muatan lokal yang sudah diajarkan pada SD/MI mulai kelas I.
6) Menjadikan bahsa Inggris dan komputer sebagai ekstra kurikuler wajib pada setiap jenjang pendidikan.
7) Memasyarakatkan fullday school pada setiap jenjang pendidikan.
8) Mendorong SMK sebagai pelopor pemasok tenaga kerja yang siap pakai (employment).
9) Menjadikan olah raga sebagai pendorong mental sportifitas bangsa dengan penanganan atlit usia dini.

Tujuan Pendidikan Kabupaten Gresik

Berdasarkan visi dan misi pendidikan daerah Gresik, dirumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan Kabupaten Gresik bertujuan mengembangkan masyarakat Gresik menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan agar mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas.

Tujuan pendidikan Gresik perlu dicapai melalui upaya sinergis dari semua pihak yang berkepentingan dan mereka yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan. Dengan tercapainya tujuan pendidikan, masyarakat Gresik akan mampu bertahan, berkembang, dan bersaing dalam percaturan nasional.

Akhirnya, mengacu pada visi, misi, dan tujuan Kabupaten Gresik serta dalam rangka menjawab tantangan pendidikan nasional, perlu disusun strat
Advokasi madrasah di gresik

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahwasannya kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lain. Sedang kewenangan bidang pemerintahan yang dilaksanakan daerah meliputi; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

Lebih lanjut, dalam PP. No. 25 Tahun 2000 disebutkan, bahwa kewenangan daerah juga meliputi penetapan kurikulum muatan lokal pada TK, SD, dan SLTP; dan untuk merencanakan, menetapkan dan mengelola pendidikan di antaranya adalah memfasilitasi peran serta masyarakat di bidang pendidikan, melaksanakan pembinaan dan pengembangan karir tenaga kependidikan, membina pengelolaan sekolah, dan melaksanakan inovasi pendidikan.

Bila menatap kebijakan yang ada di kabupaten Gresik, seharusnya bidang pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Daerah Gresik, dan sudah termaktub dalam renstra Kabupaten Gresik. Hal itupun, tentunya sejalan dengan arah kebijakan umum (prioritas pembangunan) kabupaten Gresik. Dengan begitu, misi pembangunan Gresik dapat dijalankan oleh dinas-dinas di unitnya masing-masing. Sehingga nanti misi kabupaten Gresik menjadi visi dari dinas-dinas.

Berdasarkan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, bahwasannya pendidikan diwenangkan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Termaktub dalam visi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik, yaitu mencita-citakan terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, dan sejahtera. Sementara, misi yang diharapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik adalah terwujudnya masyarakat yang agamis dan modern. Sayangnya, prinsip demokrasi, partisipasi, pemerataan, keadilan, yang memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dan merupakan hakekat otonomi daerah belum tampak.

Salah satu potensi daerah Kabupaten Gresik adalah madrasah. Dengan berbagai keanekaragamannya, madrasah sarat dengan permasalahan. Permasalahan itu timbul tatkala semua kebijakan (pemberian THR, mekanisme distibusi dan subsidi dana, sengketa guru dengan Yayasan, dll) dianggap tak dilandasi kepastian hukum dan tidak sesuai aturan.

Sejak pemberlakuan otonomi pendidikan di kabupaten Gresik pada tahun 2001, stereotif pada komunitas madrasah masih layak untuk ditindaklanjuti. Bila terkait dengan kebijakan yang ada saat ini, yaitu pemberian subsidi dan THR kepada guru swasta, namun tidak didasari kepastian hukum. Sehingga, dapat saja kebijakan tersebut diubah bahkan ditiadakan. Maka, perhatian Pemerintah Kabupaten Gresik terhadap permasalahan di atas perlu diupayakan.

Kondisi di atas, seharusnya ada indikator dan menjadi target dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik agar terjadi sinergi yang dinamis dan sehat antara lembaga negeri dan swasta. Untuk menunjang sinergi sebagaimana visi di atas, maka madrasah sebagai lembaga pendidikan agamis perlu persiapan dengan segera melakukan konsolidasi ke dalam. Bentuk konsilidasi ini dapat berupa pemberdayaan di tingkat internal pelaku dan komunitas madrasah agar kelak dapat menghadapai tantangan sebagaimana visi dan misi yang diamanatkan pemerintah daerah. Lebih lanjut, dituangkan dalam visi Subdin Pergurais, yaitu terciptanya lembaga pendidikan agama Islam yang berkualitas, minimal sejajar dengan lembaga pendidikan umum. Disebutkan pula dalam misi Pergurais kelak diharapkan meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajar (poin 4)

Rupanya, langkah-langkah Pemkab dalam memberi kebijakan, dirasa masih belum menyentuh esensi kebutuhan dan kepentingan subyek dan stakeholder pendidikan pada umumnya dan sangat signifikan apabila ada suatu kepastian hukum (regulasi) bagi guru madrasah maupun swasta yang ikut berpartisipasi dan berperan dalam pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal demikian, sejalan dengan pasal 8 UU Sisdiknas, bahwasannya masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sehingga, produk payung hukum yang tercipta kelak menjadi inisiatif bagi pembuat kebijakan Gresik (eksekutif dan legislatif), dan penentu kebijakan selanjutnya, untuk tetap perlu mengimplikasikan produk-produk hukum atas inisiatif masyarakat (bottom up). Proses di atas dapat diawali dengan munculnya inisiatif guru-guru madrasah dan komitmen yang kuat penentu kebijakan (anggota dewan, Dinas, dll.) untuk menjadikan pendidikan Gresik lebih baik dan bermutu. Lebih lanjut, akan sangat mudah bila saat ini sudah ada nilai esensial yang berjalan (usulan Guru madrasah dan komitmen penentu kebijakan) dan dapat menggagas suatu konsep ideal kepastian hukum peraturan di daerah.

Parameter keberhasilan pendidikan di Gresik secara umum (sosiologis, ekonomis, antropologis) belum pernah diteliti dan dikaji secara komprehensif, sehingga proses peningkatan kualitas pendidikan pada masyarakat Gresik "sampai saat ini" belum dapat diukur secara pasti, dan perlu ada tindakan nyata dari semua unsur masyarakat. Apalagi, dengan adanya moment Pemilu dan Pilkada, masyarakat Gresik cenderung refresif dan sangat rentan terhadap terjadinya berbagai krisis. Krisis multidimensi tersebut mengarah pada menurunnya kesalingpercayaan, baik secara horisontal maupun vertikal, baik dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten sehingga mengancam persatuan di daerah. Oleh karena itu, sektor pendidikan daerah, khususnya madrasah adalah bagian dari tantangan yang sangat berat untuk ikut mengatasi situasi krisis yang ada di kabupaten Gresik.

Berarti, konsekuensi logis sektor pendidikan, pada dasarnya tidak steril dari berbagai pengaruh sistem kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum. Sistem kehidupan tersebut seharusnya secara sinergis memberikan dukungan bagi setiap upaya pembangunan daerah. Akan tetapi, pada kenyataannya sistem yang ada belum dapat memberikan dukungan sepenuhnya, sehingga sektor pendidikan belum mampu ikut menanggapi secara optimal krisis multidimensi yang dihadapi Kabupaten Gresik saat ini.

Adanya upaya pembaharuan, pengembangan, dan pemberdayaan sistem pendidikan di daerah harus disikapi agar sistem itu mampu membackup berbagai tantangan di daerah. Upaya tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara menciptakan sistem pendidikan di daerah yang memiliki daya adaptabilitas yang tinggi dan berciri khas lokal. Dengan cara demikian sistem pendidikan daerah dapat menjaga kemanfaatannya bagi upaya pencerdasan masyarakat Gresik dan mampu menanggapi secara proaktif berbagai tuntutan kehidupan nasional, dan global.

Dalam era desentraslisasi, tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan daerah Gresik meliputi persoalan-persoalan yang terkait dengan rendahnya kesejahteraan guru swasta, kurangnya sarana dan prasarana pendukung, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM); sehingga hal itu terkait dengan pemerataan (siswa-guru), mutu (siswa-guru-lembaga), relevansi (pengangguran-drop-out), dan efisiensi dan efektifitas. Meski dilandasi kesadaran dari pelaku madrasah di Gresik, namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah pada saat ini masih bersifat insidental dan instant, serta dipandang hanya sebagai bentuk belas kasihan dari pemerintah.

Menurut pasal 11 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Ditambahkan, dalam pasal 11 ayat (2), bahwasannya Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendididkan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Maka, keberhasilan sistem pendidikan daerah (madrasah) dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut akan sangat menentukan kemampuan generasi mendatang untuk membangun kehidupan masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, berkeadilan, sejahtera, dan demokratis.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan survey dan kajian yang dilakukan PATTIRO Gresik mulai tahun 2001 hingga 2003, persoalan yang muncul di komunitas madrasah meliputi jaminan kesejahteraan Guru Madrasah, pemberian kesempatan berkembang yang sama, transparansi dalam penentuan bantuan, peningkatan quota Guru yang diperbantukan ke Madrasah, kontribusi perusahaan di daerah ke Madrasah, kepastian jenjang karir bagi Guru Madrasah, BKM yang tidak imbang, pengelolaan Depag yang terpusat, Siswa MTs banyak yang tidak mampu, Implementasi tidak terarah, BKM dan BKG tidak merata, Implementasi tak sesuai aturan, distribusi anggaran/bantuan tidak transparan, pelibatan madrasah dalam penyusunan panitia bersama, pelibatan madrasah dalam rayonisasi, dan kebijakan UAS dikaji ulang.

C. Rumusan Masalah

Terkait dengan kompleksnya permasalahan yang ada di madrasah, yang menjadi tantangan dberkaitan dengan permasalahan madrasah meliputi:

1. Arah orientasi kebijakan

Pengambilan kebijakan, selama ini, masih saja bersifat top-down, mulai dari perumusan (perencanaan-penganggaran), pelaksanaan, maupun evaluasi. Minimnya peran dan partisipasi pelaku madrasah dalam setiap pengambilan kebijakan menyebabkan masalah baru dalam implementasi. Hal ini sebagai indikator bahwa relasi guru madrasah swasta (as a social society) dengan Pemerintah masih rendah. Rendahnya relasi dan posisi tawar guru madrasah menyebabkan berbagai permasalahan.

Pengambilan keputusan selama ini hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja di kalangan pemerintahan. Masyarakat umum dan madrasah pada khususnya kesulitan mengenai rencana yang disusun sebagai kebijakan pendidikan. Hal ini tentu mengurangi optimalisasi pelaksanaan, karena kebijakan yang diambil seringkali teralienasi dari kenyataan di lapangan.

2. Kebijakan Departemen Agama

Korelasi konkrit antara kebijakan yang ada, mulai dari Komite Sekolah/Majlis Madrasah, Kelompok Kerja Madrasah, sampai dengan Dewan Pendidikan, mengacu pada kebijakan Pusat. Kebijakan tersebut "memang" bertujuan agar pola hubungan antara masyarakat, wali murid, guru, dan yayasan serta pemerintah cukup berimbang dan saling bahu-membahu dalam mengembangkan dan meningkatkan mutu madrasah. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, implementasi kebijakan tersebut masih sebatas formalitas. Kultur yang demikian perlu pemberdayaan paradigma bagi pelaku dan stakeholder pada umumnya.

3. Pelaksanaan evaluasi

Saat ini, berbagai mekanisme tentang pengalokasian dana untuk penyelenggaraan UAS di setiap madrasah, bantuan dana operasional pendidikan, dan distribusi pengawasan Madrasah - umum swasta tidak berimbang. Ini dirasakan memberatkan dari segi pendanaan, waktu pengajaran yang berkurang dan tidak efektif.

Padahal, bila mengacu pada SKB antara Diksar dan Dikmen Depdiknas dan Dirjen Bagais Depag No. 36/C/Kep/PP/2000 dan No. E/25A/2000 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN EVALUASI BELAJAR TAHAP AKHIR NASIONAL TAHUN PELAJARAN 1999/2000, sekolah/madrasah yang mempunyai status diakui diperbolehkan untuk menyelenggarakan ujian sendiri. Terkecuali sekolah/madrasah yang belum memiliki status diakui atau disamakan. Namun pada kenyataanya, madrasah yang sudah memiliki status diakui dan disamakan masih harus mematuhi kebijakan SKB Dikbud dan Depag Gresik tentang pengawasan mata pelajaran umum dan agama. Sehingga, mata pelajaran umum menjadi kewenangan pengawas sekolah umum, sementara beban anggaran, ada pada madrasah yang bersangkutan. Hal itu disebabkan karena mata pelajaran yang diampu oleh pengawas mata pelajaran agama dan umum tidak sama.

Dalam hal layanan informasi yang berkaitan dengan perencanaan anggaran, dominasi Pemerintah terlalu kuat dibanding masyarakat. Seharusnya, berdasarkan ketentuan pasal 59 ayat (2) UU. No. 20 Tahun 2003, bahwasannya masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dalam pasal 58.

Tambahan pula, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana kabupaten Gresik, layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Dari 115.313 usia 0-6 tahun, yang terlayani pendidikannya hanya sekitar 20 %. Usia 7-12 tahun yang belum terlayani pendidikannya sekitar 1.596 anak, usia 13 - 15 tahun sebanyak 4.434 anak, dan anak usia 16 - 18 tahun sebanyak 22.671 anak, lainnya melalui kelompok bermain (Kompas, 20 Juni 2003)

Berkaitan dengan output lulusan, diperkirakan, setelah adanya kebijakan Kepmen Diknas RI Nomor 011/U/2002, Kepmen Diknas RI Nomor 012/U/2002, Kakandikbud Jatim Nomor 050/64/108.03/2003, dan Edaran Kakanwil Depag Jatim Nomor W.m/6-a/PP.01.1/204/2003 tentang Surat Tanda Kelulusan (STK) dan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dengan bahwa peserta ujian dianggap lulus hanya jika nilai rata-ratanya 3,00 dari nilai murni Ujian Akhir Nasional (UAN). Dengan demikian standar nilai ini akan semakin menambah jumlah anak yang tidak berhasil lulus dan putus sekolah. Selanjutnya ketidaklulusan ini akan menyulitkannya dalam mencari pekerjaan dan menambah pengangguran. Bahkan, tahun depan telah direncanakan pemberlakuan standar nilai minimal kelulusan adalah 4,01.

Menurut data BKKBN Gresik, laju pertumbuhan penduduk Gresik tahun 2002 diproyeksikan akan mencapai 1,65 persen (BKKBN, 2002). Lebih dari separuh penduduk (60%) terkonsentrasi di pedesaan. Dengan demikian, kebutuhan akan kesempatan memperoleh pendidikan akan meningkat, seiring dengan meningkatnya anak usia sekolah.

Hal itu menandakan bahwa, ketidakmerataan memperoleh kesempatan pendidikan terutama terjadi pada kelompok-kelompok: (a) masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil (0.0872), (b) keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya., (c) wanita, indikatornya adalah pendidikan ibu terakhir tamat SD/MI (24,4 %) dan tamat SMP/MTs (25,2 %) (Balitbangda, 2004) Persoalan itu berakibat lebih lanjut pada ketimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Di samping itu, masalah tersebut dapat menghambat penegakan hak asasi manusia. Semua persoalan itu, pada gilirannya, dapat menghambat pembangunan kabupaten Gresik menuju terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis, dinamis, demokratis, berkeadilan, dan sejahtera. Tantangan tersebut perlu segera dijawab melalui kebijakan dan strategi yang tepat.

4. Mutu Pendidikan

Dalam aspek mutu kinerja sistem pendidikan belum sesuai dengan harapan daerah Gresik, bahkan cenderung menurun, apalagi memenuhi standar nasional. Hal ini tandai dengan masih banyaknya jumlah penduduk yang buta huruf, yaitu berkisar 5.999 jiwa. Berdasarkan indek pengembangan manusia (IPM), IPM Gresik mencapai 0,62 %. Artinya, angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan standar hidup layak masyarakat Gresik dikategorikan menengah ke bawah. (Balitbangda, 2004)

Selain itu, ukuran standar kinerja belum ada. Anehnya, sudah tercantum Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) pada RAPBD 2004 (bisa dikaji ulang adanya pasal 2 (4) huruf b PP No. 25 Tahun 2000 dan pasal 8 dan 20 (1) PP. No. 105 Tahun 2000). Sehingga, indikator pengukuran satuan kinerja per unit sulit diukur. Teorinya, indikator rendahnya mutu pendidikan; untuk siswa dapat dilihat pada jumlah siswa yang lulus dibanding siswa yang tinggal kelas dan putus sekolah. Guru, dilihat dari kualifikasi dan kompetensi dibanding kesejahteraan, masyarakat yang melek huruf dibandingkan dengan yang buta huruf. Jumlah angka usia produktif dan angka pengangguran berdasarkan kualifikasi pendidikannya.

Menurut Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Greanery, 1992), studi IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Selain itu, hasil studi The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) 1999 memperlihatkan bahwa, di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika.

Aspek lain yang sangat perlu diperhatikan adalah kemerosotan akhlak dan moral masyarakat Gresik. Indikator-indikatornya adalah merebaknya pemakai narkoba (sekitar tahun 2003 banyak penangkapan pemakai dan pengedar narkoba di warung kopi), praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme, judi togel, berbagai pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia (psk, miras, perkosaan), dan ketidakmampuan menyelesaikan kasus-kasus di komunitas terkait (PHK buruh plywood, trawl-nelayan). Indikator lain adalah eksploitasi pengelolaan sumber daya alam (asmeralda heiss, polowijo) sehingga diprediksi akan menambah jumlah pengangguran. Kegagalan pendidikan dalam membentuk moral kepribadian masyarakat Gresik tentu saja ikut memberikan andil pada masalah ini.

Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa upaya pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat selama ini belum berhasil memfasilitasi pengembangan masyarakat Gresik dengan segala ciri khas yang diinginkan, seperti telah disebut pada tujuan pendidikan nasional dalam UU SPN RI 2003.

Tantangan yang berkaitan dengan kualitas ialah bagaimana menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di era global, paling tidak untuk memberi keseimbangan antara lulusan negeri dan swasta. Keunggulan itu dapat dicapai melalui penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta keterampilan hidup yang bermartabat.

5. Relevansi

Pendidikan di Gresik juga masih mengalami masalah relevansi. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kehidupan dapat dilihat dari banyaknya pengangguran, seperti ditunjukkan oleh data BKKBN 2002, jumlah pengangguran usia produktif 19 -35 tahun sebanyak 21.367 orang. Sementara jumlah penduduk yang masih belum mengenal huruf atau buta aksara mencapai 5.999 penduduk.(Kompas, 20 Juni 2003)

Di samping itu, berdasarkan data Balitbangda Gresik, bahwa jenjang pendidikan masyarakat Gresik masih rendah (30,85 %). Sementara itu, sulitnya lapangan pekerjaan di kabupaten Gresik akan menambah beban sosial di kemudian hari. Bahkan, berdasarkan data Dikbud, 2001/2002, tingkat anak putus sekolah untuk tingkat SD/MI sebesar 0,13 %; SLTP/MTs sebesar 0,60 %, dan 0,94 % untuk SM/MA. Kecilnya Angka Putus Sekolah akan menambah jumlah pengangguran. Ini berarti bahwa kurikulum pendidikan tidak menyiapkan peserta didik untuk siap bekerja.

Tantangan relevansi pendidikan berkaitan dengan perubahan struktur ekonomi dari agroindustri dan manufaktur ke teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi. Dalam struktur ekonomi agroindustri dan manufaktur, manajemen masih bertumpu pada tenaga manusia dengan pengetahuan dan keterampilan teknologi menengah ke bawah. Sementara itu, dalam era informasi dan komunikasi, manajemen bertumpu pada teknologi tingkat tinggi. Dalam kenyataannya pendidikan masih berorientasi pada cara-cara yang konvensional sehingga menuntut pergeseran prioritas dan diversifikasi sasaran program pendidikan keterampilan hidup yang berorientasi pada kebutuhan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan struktur ekonomi baru tersebut.

Implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan tersebut menggambarkan rendahnya kualitas potensi sumber daya manusia di Kabupaten Gresik untuk dapat memanfaatkan peluang bekerja pada sektor formal yang cenderung membutuhkan kualifikasi latar belakang pendidikan lebih tinggi. Idealnya transformasi struktur ekonomi Kabupaten Gresik yang telah berciri industri dapat dimanfaatkan oleh kelompok umur produktif (15 sampai 65 tahun) sebagai mata pencaharian utama apabila tingkat pendidikan yang dipersyaratkan oleh kesempatan kerja berkesesuaian satu dengan lainnya. Namun peluang kerja di sektor formal yang membutuhkan tingkat pendidikan formal setingkat SMA diisi oleh pencari kerja dari daerah lain, karena rendahnya rata rata tingkat pendidikan penduduk di wilayah Kabupaten Gresik.

Sementara, tantangan relevansi terhadap madrasah sendiri berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan di daerah. Sebagian besar masyarakat, lebih memilih anak-anaknya yang melanjutkan ke madrasah yang lebih agamis. Madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan formal yang berpotensi membentuk siswa berwawasan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dan juga dibekali iman dan taqwa. Secara kuantitas, antara madrasah, sekolah negeri, dan sekolah swasta, madrasah lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa, animo dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan yang bernuansa Islam di Gresik masih kental.

6. Efisiensi dan efektifitas

Pengelolaan pendidikan madrasah Gresik masih belum efisien. Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari sejumlah kenyataan berikut: penyebaran guru yang tidak merata, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu pendek, jam belajar yang tersedia tidak digunakan secara optimal, dan pengalokasian dana yang tidak tepat. Penyebaran dan penemapatan guru negeri dan guru kontrak juga sering tidak tepat sasaran, misalnya penugasan guru di lembaga yang sebenarnya tidak terlalu membutuhkan. Sering juga guru-guru yunior justru ditempatkan di derah-derah terpencil yang masalahnya lebih berat, sedangkan guru senior yang lebih berpengalaman malah ditempatkan di derah-daerah "nyaman" yang relatif tidak terlalu berat permasalahannya. Tentang bangunan fisik, pada tahun 1998/99 telah dibangun 173 SD-MI di seluruh Gresik, tetapi dari sejumlah itu, sebanyak 19 sekolah berada dalam kondisi rusak total.(Kompas, 28 maret 2003)

Dana pendidikan Gresik sampai tahun 2003 masih mendapat alokasi sangat rendah, yaitu 8,3 persen dari APBD. Ini jauh lebih rendah dibandingkan daerah lain, misalnya Kediri yang menganggarkan tidak kurang dari 12 persen APBD. Baru untuk rencana anggaran tahun 2004, Gresik menganggarkan sekitar 12 persen. Padahal berdasarakan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas mengamanatkan alokasi minimal anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBD.

Tantangan yang berkaitan dengan efisiensi ialah bagaimana mewujudkan manajemen pendidikan yang memberdayakan peran serta masyarakat, institusi lokal, dan tenaga kependidikan secara demokratis dan efisien. Tantangan untuk meningkatkan efisiensi manajemen juga mencakup upaya mengintegrasikan semua jenis pendidikan formal dan nonformal dalam satu tatanan sistem pendidikan daerah sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa. Selain itu, pendidikan kejuruan yang telah dikembangkan dalam berbagai jenis program ditemukan masih menghadapi permasalahan cukup mendasar, yaitu kurikulum yang kurang luwes dan beaya yang terlalu mahal. Tantangan lainnya pengelolaan anggaran pendidikan yang belum berorientasi pada prinsip efisiensi dan ketergunaan, masih diskriminatif berdasarkan status negeri dan swasta dan penyamarataan subsidi untuk masyarakat kota dan pedesaan. Dari data usulan proyek bidang Kesra Diknas kabupaten Gresik APBD 2003, masih ditemukan daftar usulan proyek ganda seperti: Proyek Pembuatan RIP Proyek, Profil Pendidikan dan Penjaringan Data seluruh jenjang Pendidikan, dan Koordinasi dan Evaluasi Penuntasan Wajib Belajar. Ini menandakan bahwa perencanaan pendidikan belum efisien.

Meningkatkan kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi pendidikan yang bertumpu pada Manajemen Berbasis Sekolah dan Otonomi Perguruan Tinggi merupakan tantangan lainnya untuk meningkatkan efisiensi pendidikan. Peran pengelola pendidikan sebagai penyelenggara dan pengawas pendidikan harus diubah menjadi peran pemberian bantuan teknis dan sebagai fasilitator bagi satuan pendidikan. Tanggung jawab operasional harus berada sepenuhnya pada lembaga pendidikan atas dukungan masyarakat setempat sebagai perwujudan dari prinsip otonomi pendidikan. Secara keseluruhan tantangan efisiensi adalah bagaimana merevitalisasi dan mereposisi sistem pendidikan nasional menjadi pranata sosial yang kuat dan berwibawa.

7. Guru

a. Kepastian Hukum dan jaminan masa depan

Saat ini guru madrasah tidak mempunyai kepastian status hukum. Seringkali guru madrasah tidak dibekali kontrak apapun dengan institusi dimana ia bekerja. Pengangkatan menjadi guru negeripun tidak mempunyai kepastian. Status tersebut menjadikan guru madrasah berada pada posisi yang rawan dan lemah. Guru madrasah menjadi rentan terhadap pemutusan kerja secara sewenang-wenang. Selain itu dengan status tidak jelas maka guru madrasah akan kesulitan untuk menegakkan profesionalisme dalam mengajar.(Kompas, 18 maret 2003)

b. Kepastian Jenjang Karier Guru Madrasah

Tidak ada kepastian waktu dan parameter prestasi untuk membangun karier bagi guru madrasah. Dengan demikian guru madrasah tidak dapat membayangkan akselerasi masa depannya. Hal ini akan mereduksi kualitas guru dan pengajaran yang akhirnya akan mereduksi kualitas sumber daya manusia didik di Kabupaten Gresik.

c. Tingkat Kesejahteran

Sebagian besar guru madrasah saat ini hanya di gaji Rp.20.000,- sampai Rp.40.000,- perbulan, dengan insentif dari Pemkab Gresik Rp.6.800 perbulan . Pendapatan guru tersebut sangatlah minim bila dibandingkanan dengan buruh pabrik. Walaupun sudah terdapat kenaikan insentif bagi guru swasta umumnya terutama sejak tahun 2000, namun tetap saja tidak memenuhi standar kelayakan hidup. Selain itu nilai intensif tersebut tidak dapat dijamin akselerasinya, karena tidak adanya payung hukum. Artinya hal tersebut sangat terkandung pada niat baik pemerintah saja, sehingga sewaktu-waktu dapat berubah.

d. Pemerataan kesempatan

Menurut EMIS (Education Management Information System) terdapat data nasional yang sangat mengejutkan di mana pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) terdapat 78,83% guru yang mengajar bidang studi di luar latar belakang pendidikannya. Sedangkan pada tingkat MTs, angkanya sebesar 47,68 persen .

Rendahnya kualitas sumber daya manusia pengajar yang tercermin dari ketidaksesuaian latar belakang pendidikan formalnya tersebut, pada gilirannya akan berpengaruh secara signifikan terhadap rendahnya mutu pendidikan yang pada akhirnya akan menghasilkan siswa didik dengan kualitas yang rendah pula.

8. Kurangnya Sarana dan Prasarana Pendidikan

Pada tahun 2003 sebanyak 786 ruang kelas dari 257 sekolah dasar dan madrasah di Kabupaten Gresik dalam kondisi rusak. Akibatnya kegiatan belajar mengajar para siswa di beberapa sekolah terpaksa dipindahkan ke ruang kelas lainnya yang kondisinya lebih baik .

Walaupun pada tahun 2003 pihak dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gresik telah menganggarkan dana sebesar Rp. 5,2 Milyar dari APBD ditambah dana alokasi khusus dari pemerintah pusat sebesar 1,5 Milyar, namun kerusakan itu terlanjur terjadi dan mengganggu proses belajar mengajar.

Selain sarana ruang belajar yang kurang dan tidak memadai, sarana-sarana lainnyapun seringkali kurang memadai bahkan tidak tersedia, seperti tempat olah raga, perpustakaan, laboratorium, ruang kesenian dll. Begitu pula dengan prasarana pendidikan seperti alat peraga, perlengkapan olah raga, buku-buku rujukan, alat-alat kesenian dll.

9. Sosial ekonomi siswa madrasah

Berdasarkan data Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, nampak bahwa latar belakang murid madrasah; 40 persen orang tua mereka adalah petani kecil, 20 persen buruh rendah dan 17 persen pedagang. Jadi para murid madrasah rata-rata berasal dari latar belakang golongan keluarga menengah ke bawah .

10. Kesejahteraan

Selama ini subsidi untuk siswa MI hanya Rp 20.000,- per murid per tahun, jauh dibawah siswa SD sebesar Rp.100.000,- per murid per tahun. Siswa MTs Rp. 27.000,- sedangkan SLTP Rp. 46.000, dan siswa MA menerima subsidi Rp. 40.000,- sementara siswa SMU menerima subsidi Rp. 67.000,- .

Bila melihat mekanisme distribusi bantuan, penentuan BKM merupakan Proyek Dirjen Dikmenum Diknas, yang pendataannya atas rekomendasi Dinas Pendidikan Kab dan Dewan Pendidikan. Berdasarkan data, besar bantuan untuk Kabupaten Gresik:

Sekolah Umum Jumlah Madrasah Jumlah Besar Bantuan

SD 22 MI 8 20.000.000
SMP 16 MTs 5 30.000.000
SMU 4 MA 2 40.000.000

Para guru honorer yang mengajar di sekolah umum mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar Rp. 75.000 perbulan, sedangkan guru honorer di lingkungan madrasah sama sekali tidak menerima bantuan. M. Qosim dalam Semiloka, 26 Oktober 2003 yang diadakan PATTIRO menyatakan bahwa "insentif pada tahun 2003 sebesar 6.500 dan pada tahun 2004 sebesar 12.000''. Dari data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan madrasah merupakan anak tiri pendidikan nasional kita .

Pemerintah Kabupaten Gresik telah melakukan usaha peningkatan kesejahteraan guru. Hal itu nampak pada insentif guru sebesar Rp.75.000,- perbulan pada tahun 2002 dan Rp. 100.000,- perbulan pada tahun 2003. Pemerintah Kabupaten Gresik pun memberi THR sebesar Rp. 50.000,- pada tahun 2002 dan Rp 100.000,- pada tahun 2003. Namun demikian akselerasi bantuan kesejahteraan tersebut membutuhkan payung hukum yang lebih tegas agar lebih mendapatkan legitimasi yang pasti. Lebih parah lagi, di lapangan ditemukan pemotongan PPh sebesar 15% dan imbal jasa yang tidak ada dasar hukumnya. Pemotongan imbal jasa tersebut jumlahnya berlainan di masing-masing madrasah. Total pemotongan besarnya bisa mencapai Rp 100.000,- perguru.

11. Distribusi dan subsidi bantuan

Dalam hal distribusi bantuan, baik dari Pusat (Diknas-Depag) tidak tersosialisasikan dengan baik. Sehingga ini menyulitkan madrasah swasta untuk membuat format pengajuan beserta syarat-syaratnya. Belum meratanya RAPBM pada tiap satuan pendidikan belum tergarap dengan baik. Selama ini anggaran dan penentuan bantuan bagi madrasah hanya diketahui oleh kalangan sangat terbatas. Sehingga seringkali madrasah tidak mengetahui hak sesungguhnya. Karena terbatasnya transparansi maka menyulitkan pengawasan yang akan dilakukan. Hal ini membuka peluang sangat besar bagi tindakan-tindakan KKN.

D. Manfaat dan Urgensi

1. Kebijakan menjadi bottom up melalui partisipasi masyarakat sehingga dapat membantu kebijakan dan pelaksanaan pendidikan di Kabupaten Gresik.

2. Mengurangi kebijakan yang terpusat di Departemen Agama dengan meningkatkan partisipasi kalangan madrasah di Kabupaten Gresik dalam kebijakan dan pengelolaan pendidikan, termasuk di dalamnya adalah rayonisasi dan pelaksanaan serta pengawasan UAS.

3. Meningkatkan pemerataan kesempatan pendidikan bagi masyarakat Gresik.

4. Meningkatkan mutu pendidikan madrasah.

5. Meningkatkan relevansi pendidikan madrasah dengan kebutuhan masyarakat.

6. Melaksanakan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di daerah.

7. Menjamin kepastian status hukum guru madrasah untuk diangkat menjadi guru kontrak atau guru negeri; menjamin kepastian jengjang karier guru madrasah; meningkatkan kesejahteraan dan insentif rutin untuk guru madrasah yang dilandasi kepastian hukum; meningkatkan kualitas sumber daya manusia pendidik.

8. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan.

9. Memberi solusi bagi sejumlah besar siswa-siswa madrasah yang sebagian besar berasal dari golongan keluarga ekonomi rendah.

10. Meningkatkan pemerataan dan proporsi BKM serta BKG.

11. Menyelenggarakan kebijakan secara transparan dan terawasi dalam anggaran dan penentuan bantuan serta kebijakan pendidikan.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Aspek Filosofi
"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dari kalian dan juga orang-orang yang diberi ilmu, Allah maha waspada dengan apa-apa yang kalian kerjakan".
(Q.S.Almujadalah:11).

"Janganlah kalian mengerjakan sesuatu yang kalian tidak memiliki ilmunya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, kesemuanya akan ditanya tentangnya".
(Q.S. Al'isra': 36).

"Mencari ilmu (Ngaji) adalah wajib bagi setiap orang Islam, dan orang yang meletakkan ( memberikan ilmu ) kepada yang bukan ahlinya, bagaikan mengalungi babi dengan mutiara, berlian, dan emas".
(H.R. Ibnu Majah).

Mencari ilmu dikatakan jihad seperti pendapat Mu'adz bin Jabal berkata, "Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah tanda takut kepada Allah, mencarinya ibadah, mengingat-ingatnya tasbih, pembahasannya jihad, mengajarkannya bagi yang belum tahu

shadaqah, menyumbangkannya bagi yang berhak adalah taqarrub kepada Allah."

Ilmu dalam agama Islam sangat tinggi kedudukannya, oleh karena itu kaidah keilmuan membutuhkan suatu sistem yang memberi kontribusi pada peradaban dimana manusia hidup. Madrasah adalah bagian dari sistem yang kontributif pada peradaban tersebut dimana hakekat madrasaha adalah membangun manusia untuk mengembangkan intelektual dan spiritual.

Madrasah mempunyai content yang mulia, sebagai suprastruktur ilmu maka madrasahpun merupakan suatu fasilitas yang mulia. Oleh karena itu sudah seharusnya madrasah mempunyai kedudukan sesuai dengan martabatnya. Madrasah tidak bisa dipertahankan apa adanya, tetapi untuk dikembangkan mencapai derajat kemuliaannya, sehingga madrasah secara maksimal dapat mengembangkan dan mengakselerasi intelektualitas dan spiritualitas manusia didiknya.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan adalah lembaga manusia untuk mengangkat derajatnya (Almujadalah:11) dan mengerjakan sesuatu dengan memiliki ilmunya (Al'isra':36).

Dalam falsafah kehidupan bernegara dan berbangsa pada Sila ke satu Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa; Sila ke dua Pancasila : Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Sila ke lima Pancasila : Keadilan sosial bagi seluruh Bangsa Indonesia. Maka madrasah mempunyai korelasi signifikan dengan falsafah Bangsa dan Negara Indonesia tersebut.

Eksistensi madrasah terutama adalah mengembangkan manusia didiknya untuk mencapai "Ketuhanan Yang Maha Esa"-nya dan mencapai "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab"-nya. Namun sebagai institusi yang dimiliki masyarakat merupakan bagian juga untuk menerima "Keadilan sosial bagi seluruh Bangsa Indonesia". Karena sejak zaman penjajahan sampai saat ini posisi madrasah selalu berada dalam posisi marginal . Saat ini pemerintah melalui UU No. 20 Tahun 2003 memang secara tegas masyarakat Jawa Timur sadar bahwa hal di atas tidak dapat diperoleh tanpa usaha. Oleh karena itu mengembangkan madrasah adalah merupakan usaha tanpa henti sebagai bagian antara dalam memakmurkan masyarakat. Madrasah senantiasa harus dibangun untuk mencapai martabatnya yang senantiasa berkembang, karena eksistensi madrasah dalam menjawab tantangan zaman dan memberi kontribusi pada setiap perkembangan peradaban manusia. Sudah bukan saatnya lagi madrasah terlambat menjawab tantangan zaman, dan tertinggal dalam pengembangan peradaban manusianya.

Filosofi Kabupaten Gresik adalah Setya Bima Kerta Hardja mengandung arti kota yang kuat dan setia. Ditengah arus modernisasi yang cenderung pada pengembangan kultur westernisation, dan sejarah marginalisasi yang panjang terhadap madrasah adalah suatu keajaiban bahwa madrasah di Kota Gresik berperan dalam mendidik 40% dari seluruh siswa yang ada di Kota Gresik. Bersama manusia didiknya yang 77% berasal dari golongan ekonomi rendah, maka madrasah masih bertahan. Madrasahpun setia dalam mengembangkan masyarakat Gresik, termasuk setia pada keberpihakannya pada masyarakat golongan bawah. Sudah saatnya madrasah mendapat penghargaan lebih karena madrasah Kabupaten Gresik adalah bagian dari identitas Kota Gresik yang kuat dan setia.

B. Aspek Yuridis
Undang - Undang Dasar 1945
Menurut Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa:
".untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilam sosial,..."
Perubahan ke-4 UUD 1945
Pasal 31 ayat 1:
"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan."
Pasal 31 ayat 2 :
"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."
Pasal 31 ayat 3 :

"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 31 ayat 4:

"Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Pasal 31 ayat 5

"Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia."

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003

Pasal 17 ayat 2:

Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Pasal 18 ayat 3:

Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Pasal 36 ayat 1:

(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional

Pasal 39 ayat 1 dan 2:

(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.

Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Pasal 40 ayat 1:

Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:

a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;

b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;

d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

Pasal 43 ayat 1:

Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.

Pasal 46 ayat 1 dan 2:

1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 47 ayat 1 dan 2:

1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.

(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 49 ayat 1:

(1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pasal 55 ayat 1, 2, 3 dan 4 :

(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah

Sampai saat ini urusan pembinaan madrasah dari jengjang MI, MTs hingga MA masih berada pada Departemen Agama. Jadi urusan madrasah tidak berada pada pemerintah kabupaten dan kota. Segala urusan mengenai anggaran, pengadaan sarana belajar, tenaga pengajar termasuk standarisasi mutu masih berada dalam kewenangan Departemen Agama. Bila mengkaitkan muatan UU No. 20 Tahun 2003 dengan SKB Tiga Menteri 1975 yang mengacu pada asas Pancasila, GBHN (TAP MPR Nomor II/MPR/1990); Menag Nomor 6 tahun 1975; Mendiknas Nomor 037/U/1975; Mendagri Nomor 36 tahun 1975; Kepmenag, Kepmentrans, dan Menkop Nomor 46/A/1972, 186/Kpts/Mentranskop/O/1972 tanggal 1 Mei 1972. Subtansi kebijakan tersebut bertujuan:

a. Meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah (± 70 %) mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajaran umum, sehingga ijazah bernilai sama, lulusan sama, dan siswa mempunyai peluang sama.

b. Peningkatan mutu madrasah di bidang kurikulum, buku pelajaran, sarana prasarana, alat pembelajaran dan pengajar (Guru)

c. Tugas pembinaan:
· Pengelolaan : Menteri Agama
· Pembinaan pelajaran Agama : Menteri Agama
· Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum: Menag, Mendikbud, dan Mendagri

d. Bantuan Pemerintah Pusat ke Madrasah
1. Mata Pelajaran Umum
2. Sarana fisik melalui upaya : pelatihan dan perbantuan mengajar
3. sarana fidik dan RKB; diatur lebih lanjut oleh 3 Menteri

e. Beban anggaran:
· Pembinaan melalui Depag, sedang bantuan melalui Dikbud dan Depdagri.

Walaupun SKB tersebut sudah dianggap tidak berlaku lagi setelah terbitnya UU Sisdiknas 2003, namun bisa dijadikan sebagai tolak ukur yang melatarbelakangi legalitas madrasah.

Sebelum terbitnya UU Sisdiknas, Depag pernah berupaya untuk mendesentralisasikan madrasah ke daerah. Pendesentralisasian tersebut dimaksudkan untuk minimalisir ketimpangan alokasi anggaran terhadap sekolah umum dan madrasah.(Kompas, 26 november 2002)

C. Aspek Sosiologi

Sebagian besar masyarakat Gresik adalah buah hasil dari pendidikan di Madrasah. Bahkan, para pejabat teras yang sekarang pun tak luput dari didikan Guru Madrasah. Seharusnya, masyarakat Gresik memandang Madrasah sebagai lembaga yang telah mengkader masyarakat Gresik ke arah masyarakat yang sadar akan dirinya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (agamis), beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.. Dengan pandangan demikian, Guru Madrasah dipandang sebagai makhluk yang berharkat, bermartabat dan mempunyai kesejahteraan yang memadai. Sehingga, program-program pendidikan harus berorientasi pada kesejahteraan Guru madrasah dan harus dilaksanakan dengan merujuk pada pandangan ini secara konsisten. Artinya, semua program pendidikan harus diorientasikan pada terbentuknya masyarakat yang berkeadilan, sejahtera, yang berkembang segala potensinya, dan bertanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negaranya dalam konteks pluralitas dalam berbagai aspek kehidupan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Saat ini terdapat 352 lembaga pendidikan madrasah ibtidaiyah, 120 lembaga madrasah tsanawiyah dan 55 lembaga madrasah aliyah. Jadi terdapat 527 lembaga pendidikan madrasah. Madrasah tersebut tersebar dalam 18 kecamatan di Kabupaten Gresik. Jumlah guru di madrasah adalah 36.877 orang yang mengajar pada kurang lebih 81.720 siswa . Dari 202.215 siswa yang ada di gresik maka sekitar 40%-nya adalah siswa madrasah, hal ini merupakan angka yang signifikan.

Madrasah merupakan salah satu pranata sosial yang penting bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang demokratis, sehingga ia harus diberdayakan sejajar dengan pranata hukum, pranata sosial-budaya, ekonomi dan politik. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pranata pendidikan masih terlalu lemah sehingga kurang mampu membangun masyarakat belajar. Akibatnya, persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul, seperti disintegrasi sosial, konflik antarlembaga, kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pola hidup konsumtif dan hedonistik tidak dapat segera ditangani secara tuntas. Oleh sebab itu, untuk saat ini dan masa yang akan datang perlu dibangun dan dikembangkan sistem pendidikan daerah atas dasar kesadaran kolektif masyarakat dalam rangka ikut memecahkan berbagai masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia.

Di samping itu, ada persoalan yang terkait dengan masalah ketimpangan struktur kewenangan pengelolaan. Di tingkat Kabupaten, ada Depag dengan Mapendanya dan Dikbud dengan Perguraisnya, serta Dewan Pendidikan. Di satu sisi juga ada LP. Ma`arif dan Dikdasmen Muhammadiyah yang konsisten pada madrasahnya masing-masing. Begitupun di tingkat Kecamatan, ada PPAI, KKM, Kortan, dan lainnya. Secara riil lembaga yang ditangani penyelenggara pendidikan di Gresik terjadi dualisme, terkotak-kotak, dan rawan konflik. Kenyataan ini perlu dipertimbangkan secara proporsional dalam membuat kebijakan di tingkat pengelola maupun sekolah.

Persoalan lain yang dihadapi masyarakat saat sekarang berkenaan dengan adanya disparitas sosial-ekonomi yang makin tajam. Pandangan masyarakat terhadap Guru Tidak Tetap, Guru Bantu, dan PNS menjadi sorotan para GTT di daerah. Untuk mengatasi masalah tersebut, sistem pendidikan daerah secara sosiologis perlu dirancang untuk menghilangkan disparitas yang ada.

Secara geografis masyarakat Gresik bermukim di berbagai pedesaan yang tersebar luas, bahkan ada yang berada di kepulauan yang wilayah daratannya kurang lebih seperenam dari wilayah Gresik. Dalam situasi seperti ini, program pendidikan harus didukung oleh teknologi komunikasi yang memadai.

Dalam era global seperti sekarang ini, segala macam informasi dapat tersebar lintas daerah pedesaan dengan bebas tanpa hambatan apa pun. Dalam konteks ini, ketidaksamaan kemampuan mengakses informasi mempertajam kesenjangan sosial dalam masyarakat. Di samping itu, nilai-nilai budaya lokal/kearifan lokal juga menghadapi tantangan baru dalam hal penyesuaian diri dengan tatanan baru sistem kehidupan. Untuk itu perlu dilakukan upaya agar masyarakat mampu menyerap nilai-nilai baru secara terus-menerus tanpa kehilangan jati diri. Kesinambungan nilai-nilai kehidupan yang hakiki dan nilai-nilai yang muncul bersama dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perlu selalu dijaga. Oleh karena itu, sistem pendidikan daerah perlu diarahkan untuk memperkuat jati diri lokal di hadapan bangsa tanpa mengisolasi diri dari percaturan nasional dan dengan demikian sistem itu mampu meningkatkan harkat dan martabat daerah Gresik secara berkelanjutan.

BAB III
PEMBAHASAN
Landasan Pembangunan Pendidikan Kabupaten Gresik

Visi, Misi dan Tujuan

Visi Madrasah Kabupaten Gresik
Untuk memperkuat komitmen masyarakat Gresik dalam membangun pendidikan di daerah, perlu dirumuskan visi pendidikan Kabupaten Gresik. Rumusan visi pendidikan kabupaten Gresik adalah:

Terwujudnya masyarakat Gresik yang agamis dan modern.

Rumusan visi tersebut memiliki beberapa manfaat. Pertama, masyarakat Gresik diharapkan dapat membangun komitmen dan menggerakkan segenap komponen masyarakat untuk membangun sistem pendidikan madrasah sebagai salah satu pranata sosial yang agamis dan modern sehingga mampu menghasilkan standar keunggulan yang berciri khas lokal. Pranata sosial yang demikian adalah yang didukung oleh sumber daya manusia profesional, infra struktur dan sarana pendukung yang mendidik, dengan manajemen berasaskan keterbukaan yang dinamis dan mengutamakan peran serta masyarakat sehingga memiliki daya tawar yang kuat terhadap pranata-pranata sosial yang lain. Kedua, visi tersebut dapat menciptakan makna pendidikan bagi masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk menjembatani keadaan sekarang dengan masa yang akan datang. Terakhir, dalam jangka panjang, dengan visi tersebut masyarakat Gresik mampu melakukan pembudayaan dan pemberdayaan sistem, iklim, dan proses pendidikan di Gresik yang demokratis dan mengutamakan mutu dalam perspektif daerah nasional, internasional, dan global.

Visi ini dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam membangun kehidupan yang berharkat dan bermartabat bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya. Di samping itu, sistem pengelolaan madrasah di daerah diyakini akan mampu mencerahkan dan memberdayakan pranata sosial lainnya (ekonomi, hukum, pemerintahan, sosial, budaya, agama, dsb.) bagi keberlangsungan hidup individu dan masyarakat untuk menjawab tantangan pembangunan daerah nasional dan global. Dengan demikian, terjadi interaksi secara fungsional antara peserta didik, lembaga pendidikan dan pranata sosial terkait lainnya dalam satu tatanan sistem pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang sinergik dan produktif.

Misi Pendidikan Kabupaten Gresik

Misi pendidikan Gresik adalah:
1) Mengoptimalkan pembinaan agama sampai pada tataran action.
2) Menjadikan lembaga pendidikan sebagai pemberi jasa layanan kepada masyarakat dan meletakkan siswa dan orang tua sebagai customer yang harus dihormati dan didengar kebutuhannya.
3) Mengusahajkan terbentuk dan berfungsinya komite sekolah pada semua lembaga dan Dewan Pendidikan pada kantor Dinas dan Cabang di seluruh kabupaten Gresik sebagai partner dalam pengambilan kebijakan.
4) Mengintruksikan agar seluruh lembaga menerapkan MPMBS sebagai jawaban terhadap isu rendehnya manajemen pendidikan.
5) Memasukkan bahasa Inggris sebagai muatan lokal yang sudah diajarkan pada SD/MI mulai kelas I.
6) Menjadikan bahsa Inggris dan komputer sebagai ekstra kurikuler wajib pada setiap jenjang pendidikan.
7) Memasyarakatkan fullday school pada setiap jenjang pendidikan.
8) Mendorong SMK sebagai pelopor pemasok tenaga kerja yang siap pakai (employment).
9) Menjadikan olah raga sebagai pendorong mental sportifitas bangsa dengan penanganan atlit usia dini.

Tujuan Pendidikan Kabupaten Gresik

Berdasarkan visi dan misi pendidikan daerah Gresik, dirumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan Kabupaten Gresik bertujuan mengembangkan masyarakat Gresik menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan agar mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas.

Tujuan pendidikan Gresik perlu dicapai melalui upaya sinergis dari semua pihak yang berkepentingan dan mereka yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan. Dengan tercapainya tujuan pendidikan, masyarakat Gresik akan mampu bertahan, berkembang, dan bersaing dalam percaturan nasional.

Akhirnya, mengacu pada visi, misi, dan tujuan Kabupaten Gresik serta dalam rangka menjawab tantangan pendidikan nasional, perlu disusun strategi pembangunan dan pengembangan Madrasah dalam bentuk peraturan daerah yang akan dijadikan landasan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Gresik.

0 komentar: