Pendidikan Informal 4

Seni Tradisi (Nusantara) dan Pembelajarannya di Sekolah



Sejak beberapa tahun ini, banyak dari kalangan penentu kurikulum memfokuskan diri pada seni tradisi. Selain itu, tak sedikit pula kalangan yang mempertanyakan kembali tentang kehidupan seni tradisi saat ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah, masih potensialkah jika kita mengangkat seni tradisi dimana ia hidup dalam kepungan budaya populer dan modern saat ini? serta mampukah seni tradisi memikat siswa dalam pembelajaran seni di sekolah dimana para siswa telah terpengaruhi dirinya dengan budaya populer dan modern saat ini? Belum banyak yang kemudian mempersoalkan bagaimana seni tradisi berperan dalam konteks kehidupan siswa?

Apakah seni tradisi akan memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan siswa? Bahkan menurut Prof. Waridi (seorang guru besar dari ISI Solo), masih jarang yang mempertanyakan dan menggali secara sungguh-sungguh kemampuan dan potensi nilai-nilai ketradisionalan seni nusantara dalam ikut menganyam pencitraan identitas bangsa. Juga belum banyak yang mencoba membicarakan potensi seni tradisi dalam konteks kekinian. Belum banyak pula yang menggagas untuk menjadikan seni tradisi sebagai sarana penanaman nilai-nilai kenusantaraan terhadap siswa-siswa sekolah sejak dini. Justru yang terjadi adalah sebuah perdebatan yang tiada kunjung selesai terhadap pilihan-pilihan materi pendidikan seni yang harus dikomposisikan dalam disain kurikulum sekolah formal serta peminggiran-peminggiran eksistensinya.

Saya pikir perdebatan semacam itu tidak akan kunjung selesai bila masing-masing kelompok melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Di satu pihak ada yang memandang bahwa tradisi itu kuno, ketinggalan jaman, dan lain sebagainya. Sementara di pihak lain ada yang memandang bahwa saat ini memandang seni tradisi dalam konteks budaya Indonesia sangat diperlukan. Kenapa? Karena apabila dilihat dari keberadaannya (diakui atau tidak), seni tradisi ternyata telah berhasil membawa bangsa Indonesia ke dalam kancah pergaulan internasional. Seni tradisi memiliki kemampuan dan potensi untuk mengangkat citra Indonesia di mata dunia. Karena ternyata dengan seni lah Indonesia dapat dikenal dunia, daripada ekonomi dan teknologinya. Sudah banyak seniman-seniman kita yang melanglang buana keliling dunia dengan unjuk kabisa dalam bidang seni tradisi.

Seni Tradisi

Dari sudut pandang kebudayaan, Prof. Waridi mengatakan bahwa seni adalah salah satu bentuk ekspresi budaya. Kebudayaan ada karena sengaja diadakan oleh manusia untuk membentuk sebuah peradaban bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya serta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya hanya manusialah makhluk yang berkebudayaan dan yang memiliki peradaban dalam hidupnya. Salah satu wujud produk kebudayaan manusia, adalah seni. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika kemudian banyak yang menyatakan, bahwa seni tradisi dapat mengungkapkan sikap dan proses pengetahuan sosial. Bila demikian halnya, maka sebenarnya wujud seni tradisi tidak hanya berurusan dengan estetika, melainkan di dalamnya mengandung persoalan-persoalan non seni yang multidimensi.

Faktanya di lapangan menunjukkan, bahwa seni tradisi memiliki wajah yang jamak (multifaced). Artinya, bahwa seni tradisi dapat diamati dari berbagai sudut pandang dan berbicara untuk mengungkapkan proses pengetahuan dan perilaku sosial yang beragam pula. Dari konteks inilah kemudian ditemukan sebuah pemahaman, bahwa seni tradisi lahir sesuai dengan tingkat peradaban manusia pendukungnya. Oleh karenanya dalam seni tradisi di dalamnya mengandung pengetahuan peradaban komunitas-komunitas manusia Indonesia yang beragam. Dalam kaitan ini, kebudayaan Indonesia sebagian terekspresikan lewat beragam seni tradisi yang hidup di Indonesia itu. Maka, bukan sesuatu yang tidak masuk akal jika seni nusantara itu menjelma menjadi sebuah tradisi yang secara terus menerus berupaya diwariskan dan dipelajari dari generasi ke generasi berikutnya.

Tradisi berasal dari bahasa Inggris yaitu kata tradition, kita memahaminya sebagai sesuatu yang bersifat turun-temurun, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya. Apabila dikaitkan dengan seni, merujuk pada pernyataan Prof. Waridi, tradisi mengandung pengertian seni-seni yang keberadaan dan perkembangannya merupakan warisan dari generasi ke generasi sebelumnya yang di dalamnya sarat dengan konvensi-konvensi, serta berkaitan dengan kebutuhan sistem-sosial kehidupan membudaya masyarakat pendukungnya. Walaupun seni tradisi merupakan warisan dari generasi ke generasi, akan tetapi bukan berarti hidup secara statis, ia terus berjalan dan berdialog dengan proses peradaban yang melingkupinya. Oleh karenanya saya menggarisbawahi pernyataan beliau yang mengatakan bahwa adalah wajar bilamana seni tradisi secara wujud, fungsi, dan maknanya selalu berubah-ubah seirama dengan dinamika sosial budaya masyarakat. Perubahan itu bisa saja terletak pada pengolahan bentuk, pengetahuan, serta muatan perilaku sosial yang terdapat di dalamnya.

Berbicara tentang seni tradisi, menurut saya penting untuk dipelajari oleh siswa di sekolah, karena di dalamnya terkandung makna-makna yang pantas untuk diteladani dalam konteks kehidupan manusia secara berkesinambungan. Bahkan Ki Hajar Dewantara memandang bahwa mempelajari seni tradisi dapat menghaluskan budi kita. Beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa alat untuk menghaluskan budi ini ialah halusnya pendengaran dan penglihatan (misalnya belajar gamelan). Penglihatan berpengaruh pada pikiran kita, sedangkan pendengaran berpengaruh pada perasaan atau perangai. Jadi, dengan halusnya kedua panca indera tersebut maka akan berakibat halusnya manusia. Kenapa manusia menjadi halus? Hal ini disebabkan karena panca indera kita merupakan alat-alat manusia yang menghubungkan jiwanya dengan dunia luar.

Dari pernyataan Prof. Waridi dan Ki Hajar Dewantara tersebut, ternyata dalam seni tradisi terdapat makna esensial dan ruh yang pantas untuk diteruskan. Tetapi masalahnya sekarang adalah bagaimana cara untuk menyikapi seni tradisi agar tetap dapat berperan dalam pembelajaran di sekolah. Menurut saya hal tersebut merupakan sesuatu yang amat sangat kompleks, kenapa? karena pada saat ini, kehidupan seni tradisi disekolah dihadapkan pada gemerlapnya budaya populer yang lebih menghibur dan sesuai dengan selera siswa. Sehingga membutuhkan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan konteks keadaan siswa dan konteks lingkungan yang mempengaruhinya.

Tantangan Seni Tradisi di Sekolah

Keberadaan seni tradisi di era globalisasi dihadapkan kepada sejumlah tantangan yang cukup kompleks. Saya setuju apa yang dikatakan oleh Prof. Waridi, tentang tantangan-tantangan yang dihadapi seni tradisi saat ini, terutama di sekolah. Hal itu dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Kontinuitas pemahaman dan apresiasi (siswa) terhadap seni tradisi dari waktu ke waktu cenderung semakin menipis. Artinya telah terdapat kecenderungan diskontinuitas di tingkat apresiasi dan pemahaman. Persoalan ini sangat mungkin terjadi karena;

2. Kurang tersedianya ruang dan sarana yang cukup bagi (siswa) anak-anak muda untuk mendapat kesempatan mengapresiasi seni tradisi secara serius.

3. Belum terjadi proses internalisasi unsur-unsur seni tradisi secara wajar, sinambung, dan sistemik dalam usia anak dini dan remaja. Dalam artian pembelajaran seni saat ini, masih mengabaikan konteks keadaan siswa dan lingkungannya.

4. Sebagian seni tradisi cenderung tampil kurang menggairahkan, karena dalam keadaan lesu darah. Hal ini berkaitan dengan persoalan semakin memudarnya patron-patron yang memayungi seni tradisi untuk terus mampu melakukan aktivitas pentas maupun kegiatan-kegiatan yang berada di tengah-tengah masyarakat. Seperti kurangnya dukungan dari pemda-pemda dalam upaya menghidupkan kembali seni tradisi.

5. Berhadapan dengan kebudayaan seni pop yang dipandang dapat mencitrakan gejolak emosi anak muda (siswa remaja).

6. Munculnya kekuatan kapitalis yang bergerak dalam industri budaya, cenderung memberi ruang sangat luas terhadap jenis-jenis seni populer. Secara realitas kekuatan ini sulit untuk dihindari dan masyarakat seni tradisi tidak memiliki kekuatan untuk mengimbanginya. Akibatnya satu kendala yang lain segera melengkapi tantangan-tantangan lainnya yang muncul dalam dunia seni tradisi, yaitu;

7. Seni tradisi lebih dipandang dan dicitrakan sebagai seni masa lalu yang kurang mencitrakan kemodernan. Bila demikian terdapat sesuatu yang agak menggelisahkan, yakni kemungkinan munculnya suatu persepsi yang memandang, bahwa seni populer dalam perspektif umum dijadikan sebagai ukuran atau standar mutu keberadaan sebuah seni termasuk festival-festival atau kontes-kontes pada suatu bangsa. Tanda-tanda ini mulai muncul di Indonesia, yakni penilaian yang didasarkan atas banyaknya dukungan yang masuk terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berdampak langsung terhadap dimenangkannya seseorang dalam suatu kontes kesenian. Tindakan semacam ini secara jelas telah terdapat upaya-upaya dari sekelompok orang untuk menggeser persoalan subjektivitas kesenian ke arah objektivitas publik.

Salah satu ciri esensial subjektivitas dalam penilaian terhadap suatu kualitas kesenian biasanya dipercayakan kepada dewan pakar atau seorang ahli dibidangnya, sementara yang berkembang saat ini, kewenangannya dialihkan kepada publik. Penilaian dari dewan pakar untuk menentukan kualitas suatu sajian kesenian, biasanya disertai analisis yang mendalam terhadap berbagai unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Pertimbangan yang diambil lebih mengutamakan persoalan-persoalan estetik dan konteksnya, sehingga hasil penilaiannya dapat dipertanggungjawabkan. Sementara di sisi lain penilaian yang dilakukan oleh publik sering tercampur dengan persoalan "suka atau tidak suka".

Akibatnya bisa saja terjadi, bahwa yang menang bukan mencerminkan kualitas yang sesungguhnya, dalam kata lain kemenangan yang bersifat semu. Bilamana ini menggelinding secara terus menerus, bisa jadi dapat berpengaruh kuat terhadap terbentuknya opini dan persepsi publik, bahwa seni yang dianggap baik adalah seni yang disenangi oleh banyak orang, bukan seni yang secara fungsional mampu hidup dalam konteks kehidupan membudaya masyarakatnya. Pemahaman seperti itu secara jelas hanya memandang, bahwa seni semata-mata didudukkan sebagai objek hiburan. Dari awal persepsi yang demikian itulah seni tradisi nusantara mulai mengalami kesenjangan di kalangan anak muda (siswa). Seni tradisi sudah tidak lagi dipandang sebagai bagian dari kebudayaan mereka.

Jadi, dari pernyataan di atas, kenyataan tantangan-tantangan tersebut melahirkan dua persepsi, yakni pertama pandangan yang menempatkan massa sebagai basis orientasi penilaian. Dalam persepsi ini tergambar, bahwa baik dan buruk suatu karya seni didasarkan atas pertimbangan selera massa dari pada kualitas yang dilegitimasi oleh ahlinya. Secara jelas cara semacam ini dilatari oleh semangat budaya populer dan kapitalis, dimana partisipasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat merupakan salah satu tujuan untuk meneguk keuntungan finansial. Situasi yang demikian ini seni tradisi telah dilepaskan dari roh spiritualitasnya dan menjelma menjadi bagian seni yang bersifat profan dan hiburan. Nilai-nilai toleransi, perekat sosial, kebersamaan, kemerdekaan, kreatifitas, dan kesetiakawanan sosial menjadi hilang. Persepsi kedua, tetap menempatkan seni tradisi sebagai basis kekaryaan dan sarana internalisasi nilai-nilai tersebut di atas. Persepsi yang kedua ini umumnya memilih jalur mengolah potensi yang terdapat dalam seni tradisi dengan tetap mempertimbangkan aspek kulturalnya, yakni mengolah seni tradisi dengan pendekatan reinterpretasi. Tentunya dua persepsi ini berdampak secara signifikan terhadap apresiasi masyarakat terhadap pendidikan seni tradisi.

0 komentar: