Rabu, 2007 Desember 26
LEMBAGA INFORMAL PENDIDIKAN TINGGI ISLAM;
LEMBAGA INFORMAL PENDIDIKAN TINGGI ISLAM;
Halaqah, Observatorium Dan Perpustakaan
A. Pendahuluan
Sejauh ini, tidak banyak kajian yang komprehensif tentang bentuk-bentuk maupun karakteristik-karakteristik lembaga pendidikan tinggi yang berlangsung pada periode klasik (mulai abad ke-2-13 M). Upaya pendiskripsian yang dilakukan oleh kebanyakan ilmuwan cenderung lebih banyak menekankan pada sebuah produk (manifestasi) dari pada sebagai proses. Akibatnya timbullah masalah dilematis di kalangan para ilmuwan yang senantiasa menurut pembuktian, sebagai reaksi terhadap munculnya stereotype (penisbatan) pendidikan formal dan informal.
Kajian berikut ini berupaya mendiskripsikan secara kritis lembaga informal dari sisi karakteristik yang ada sekaligus mengklasifikasikan indikator-indikator yang termasuk dalam lingkup pendidikan informal, yaitu meliputi halaqah, observatorium, dan perpustakaan. Untuk manambah kejelasan ketiga unsur di atas akan diulas sekitar keterkaitan perpustakaan dengan lahirnya 9 (sembilan) nama perpustakaan yang berkembang dalam tradisi keilmuan Islam.
B. Pembahasan
1. Lembaga Informal Pendidikan Tinggi Dan Karakteristiknya
Untuk memahami lebih jauh apa dan bagaimana lembaga informal pendidikan tinggi itu, barangkali kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai beberapa faktor yang menjadi latar belakang pendiriannya. Ada tiga hal yang ditengarai sebagai faktor yang melandasi dilembagakannya pendidikan tinggi informal, yakni:
* Keinginan para ilmuwan dan para sarjana dari kalangan muda untuk saling berkomunikasi dan saling mendorong semangat keilmuan mereka.
* Kehausan akan ilmu pengetahuan yang didorong dengan adanya kebutuhan untuk memperluas pengetahuan umum dan untuk memahami gejala-gejala alam.
* Semangat dalam mempertahankan keimanan Islam dalam menghadapi misionaris agama-agama lain.
Secara eksplisit karakteristik pendidikan formal dan informal yang berlangsung pada periode klasik sulit dibedakan.1 Namun ada sisi lain yang dapat kita kaji secara kritis untuk membedakan diantara keduanya, yaitu dari segi sumber pendanaan yang diterima dari negara. Dana yang diterima pendidikan formal sifatnya langsung atau dalam istilah Azyumardi disebut kontan2, sedang dalam pendidikan informal sifatnya tidak langsung, misalnya saja melalui ketentuan hukum perwakafan. Untuk menambah kejelasan, berikut ini akan diklasifikasikan beberapa faktor yang termasuk dalam karakteristik pendidikan informal, meliputi:
* Lokasi : selain masjid dan madrasah.
* Kurikulum : pengetahuan umum lebih dominan.
* Metode : bebas tidak terikat.
* Subsidi negara : tidak diberikan secara langsung.
* Sebutan guru : lebih popular dengan sebutan shaikh.
Kelima faktor itulah yang dapat ditengarai sebagai karakteristik pendidikan informal. Namun, tidak menutup kemungkinan munculnya unsur ambiguitas diantara faktor-faktor yang terkait.
2. Karakteristik Lembaga Informal Pendidikan Tinggi
Sub judul ini hendak mengkaji lembaga informal pendidikan tinggi dari segi indikator-indikatornya dan bagaimana simpul-simpul indikator tersebut mengalami rekayasa.
a. Halaqah
Halaqah (lingkaran studi) adalah merupakan forum kajian keilmuan yang sistem penyelenggaraanya dimulai dengan memberikan garis-garis umum mata pelajaran, dilanjutkan pelajaran secara detail dan mendalam tentang masing-masing sub materi. Lalu diakhiri dengan evaluasi dalam bentuk diskusi. Proses ini penekanannya terletak pada analisis dan pengembangan informal tentang pandangan seorang guru yang disebut dengan shaikh. Dengan demikian maka kurikulum sebuah halaqah lebih banyak tergantung pada pengalaman dan pengetahuan sang guru atau pada suatu ijazah atau sertifikasi yang dimiliki seorang guru disaat menempuh perjalanan keilmiahannya.
Dalam prakteknya, halaqah yang berkembang pada periode klasik dengan mengacu pada karakteristik di atas dapat diklasifikasikan pada dua macam bentuk pendidikan yaitu formal dan informal. Formulasi formal dalam wacana ini adalah halaqah yang diselenggarakan di masjid-masjid. Sedangkan untuk informalnya adalah yang diselenggarakan diluar atau selain di masjid, seperti dilingkungan istana, dirumah-rumah pembesar negara, di perpustakaan, took-toko buku, rumah-rumah para ilmuan. Contoh dalam sejarah kita mengenal halaqah al Ghazali, halaqah Ibn Killis, halaqah al Fatimy dan lain-lain.3
Secara garis besar fungsi halaqah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu (a) sebagai forum diskusi dan (b) sebagai sanggar sastra.
Ø Sebagai forum diskusi, pada forum ini para siswa diberi kesempatan untuk melakukan refleksi tentang masalah-masalah penting dan sekaligus menunjukkan ketrampilannya dalam beradu argumentasi. Topik yang menjadi bahan diskusi seringkali dikaitkan dengan kehidupan intelektual Islam atau persoalan-persoalan aktual yang lebih banyak ditentukan oleh shaikh yang bersangkutan.4
Ø Sebagai sanggar sastra. Halaqah dalam wacana ini pada awalnya terbatas dikalangan keluarga istana. Akhirnya membudaya dikalangan para penguasa. Kelompok-kelompok bangsawan bawahan. Titik focus penyelenggaraannya cenderung mengukuhkan kembali ajaran-ajaran tradisional. Namun pada perkembangan selanjutnya mengarah sebagai media masuknya pemikiran intelektual dan sains Yunani ke dalam peradaban Islam.5 Popularitas sebuah sanggar banyak tergantung pada kekayaan dan kekuatan seorang Patron (pemilik sanggar ) dalam menarik para cendekiawan pada kelompok masyarakat tertentu. Yaitu terdiri dari kaum cerdik dibidang matematika, filsafat, teologi, pejabat, politikus dan pemimpin keagamaan.
b. Observatorium
Pembangunan observatorium dibeberapa wilayah Islam merupakan manifestasi dari kepedulian khalifah dan pembesar-pembesar negara. Khalifah Abbasiyah yang kali pertama mendirikan observatorium adalah Al Ma’mun (813-833 M).6 Al Khawarizmi (W. 863 M) dikukuhkan sebagai pengarah dan pengelola dibidang studi penelitian pada lembaga tersebut. Dari tahun ke tahun observatorium yang ada senantiasa mengalami perkembangan dan kemajuan, lebih-lebih menjelang abad ke-10. Menurut data yang ditulis oleh Husein, pada penghujung abad ke-9 observatorium banyak mendapat dukungan dari para penguasa. Sehingga sebagai ajang penelitian dan eksperimen observatorium merupakan wahana pendidikan yang paling bergengsi pada saat itu.7
Sepanjang masa keterbukaan (sebelum pengaruh relegius Asy ‘ariyah) observatorium banyak menelorkan ilmuwan-ilmuwan multi disiplin ternama8 yang banyak memberikan kontribusi yang cukup pesat dalam kemajuan intelektual Islam, baik dibidang Astronomi maupun di bidang kedokteran. Astronomi merupakan ilmu yang berguna bagi umat Islam dalam kaitannya dengan pengaturan aspek-aspek keimanan mereka, seperti penentuan arah kiblat, waktu-waktu sholat, puasa dan lain sebagainnya. Teori-teori astronomi tidak saja mengkaji benda-benda angkasa dengan garis bujur dan lintang, tetapi juga meliputi fisika dan matematika.
Sedangkan dibidang kedokteran, mula-mula melalui karya Galen, seorang dokter dan sekaligus seorang penulis paripatetik yang hidup pada paruh terakhir abad ke-2.9 Dalam observatorium inilah berbagai penelitian dan percobaan dibidang kedokteran dilakukan, baik yang berlandaskan teori-teori kedokteran maupun pengobatan mistik yang berlandaskan pada pandangan esoteric tentang angka-angka (matematika phytagoras). Untuk melengkapi kajian ini, berikut nama tokoh-tokoh besar yang paling banyak bersandar pada observatorium:
1. Kedokteran, meliputi:
F Ibn Hayyan (721-815)
F Al Rozi (844-925)
F Ibn Haytam (965-1035)
F Ibn Sina (980-1037
2. Astronomi, meliputi:
F al Khawarizmi (W. 863)
F al Biruni (973-1051)
F al Wayyam (1050-1123)
F al Tusi (1201-1274) 10
c. Perpustakaan
1. Latar Belakang Berdirinya Perpustakaan
Munculnya sebuah pertanyaan mengapa perpustakaan didirikan ?, mengajak kita untuk mengkaji lebih jauh, dari berbagai disiplin ilmu.11 Namun sebelumnya, kita harus mengetahui apa yang dinamakan perpustakaan. Dalam buku Pengantar Ilmu Perpustakaan dijelaskan bahwa batasan perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca dan bukan untuk dijual. Selain itu menurut Webster’s Third Edition International Dictionary edisi 1961, bahwa perpustakaan adalah kumpulan buku, manuskrip dan bahan pustaka lainnya yang digunakan untuk keperluan studi atau bacaan, kenyamanan atau kesenangan. Lain pula halnya dengan pendapat International of Library Association and Institution (IFLA) perpustakaan sebagai kumpulan materi tercetak dan media non cetak dan atau sumber informasi dalam komputer yang disusun secara sistematis untuk digunakan pemakai.12
Dari pemahaman arti tersebut di atas jika direlevansikan dengan konteks masa lalu bahwa munculnya suatu perpustakaan sebagai usaha untuk mengumpulkan manuskrip yang awalnya terkumpul dalam toko-toko buku pada saat itu. Karena selama kejayaan khalifah Abbasiyah, toko-toko buku berkembang pesat di wilayah Timur Tengah dan peran pentingnya menyebar di seluruh wilayah Islam khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung Iberia.13
Dikarenakan toko-toko buku menjadi pusat pengumpulan dan penyebaran buku-buku, tidaklah aneh lingkaran-lingkaran studi berkembang dan mengaitkan dirinya dalam bentuk bangunan (ruangan) khusus. Dengan demikian toko-toko buku dan para pemiliknya telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kebangkitan intelektual Islam.
Pada mulanya perpustakaan didirikan oleh orang-orang kaya, kalangan bangsawan dan di istana-istana para penguasa. Karena Al Qur’an mengharuskan individu-individu untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan menyediakan kekayaan yang dimilikinya bagi orang lain yang kurang beruntung, maka para hartawan membiayai pembangunan perpustakaan dan seringkali membukanya untuk para ilmuwan dan kadang-kadang untuk umum.
Menurut penelitian perpustakaan-perpustakaan yang dibangun untuk umum terdiri dari ruangan-ruangan yang dilengkapi dengan karpet-karpet dan meja-meja yang mewah, dengan tinta dan kertas yang tersedia bagi para ilmuwan dan mahasiswa, seperti dibeberapa perpustakaan besar, khususnya Baghdad dan Kairo sebanyak 40 sampai 50 ruangan. Menurut Shalaby katalognya tersusun dengan baik di Madrasah Nizamiyah Baghdad memuat 6000 judul.14
Perhatian dari para penguasa dan pembesar istana memotivasi tumbuhnya aktifitas penulisan dan penerjemahan buku-buku dalam jumlah yang sangat besar. Meningkatnya buku-buku berimplikasi pada meningkatnya perpustakaan-perpustakaan yang terbesar diberbagai wilayah Islam.
2. Fungsi perpustakaan dan karakteristiknya
Berdirinya perpustakaan merupakan reaktualisasi kepedulian ilmuwan-ilmuwan Islam dalam peningkatan potensi intelektual umat Islam khususnya dikalangan pelajar dan pemerhati lainnya bidang pengetahuan. Perpustakaan Islam dengan koleksi buku-bukunya memainkan peranan penting dalam perkembangan ilmu untuk kemudian meninggalkannya sebagai warisan peradaban yang amat berharga. Sebagai warisan peradaban Islam, perpustakaan juga mengemban fungsi penting lainnya dalam rangka membentuk penyebaran agama. Fungsi-fungsi tersebut antara lain:
a. Fungsi relegius.
Sebagai symbol kemajuan bangsa dan manifestasi dari perkembangannya budaya masyarakat Islam, perpustakaan berfungsi sebagai benteng pertahanan misi agama.
b. Fungsi akademis.
Perpustakaan merupakan institusi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan inti program pengajaran yang memperluas materi-materi pelajaran yang disajikan dalam perkuliahan atau diskusi-diskusi seperti dalam halaqah-halaqah.
c. Fungsi Sosial.
Perpustakaan merupakan tempat berkumpulnya masyarakata untuk menjalin kehidupan sosialnya, terutama perpustakaan-perpustakaan yang merangkap jual beli buku.15
Bila kita mengkaji karakteristik perpustakaan yang berkembang pada periode klasik, maka akan kita temukan 3 (tiga) type perpustakaan. Yaitu perpustakaan umum, perpustakaan semi publik , dan perpustakaan khusus. Adapun untuk kejelasannya sebagai berikut:
F Umum, dengan karakteristik sebagai berikut:
Pendanaan : subsidi dari negara dan masyarakat
Lokasi : Masjid, madrasah dan rumah sakit
Promotor : penguasa bersama para ilmuwan
Fasilitas : buku-bukunya lebih banyak dan lebih luas, dibuka untuk
umum
F Semi umum (semi publik), karakteristiknya sebagai berikut:
Pendanaan : mandiri
Lokasi : Istana, rumah pejabat dan took buku
Promotor : khalifah, pejabat dan para ilmuwan
Fasilitas : buku-bukunya banyak, peminjaman di batasi pada
kelompok tertentu
F Khusus, dengan karakteristik sebagai berikut:
Pendanaan : mandiri
Lokasi : rumah-rumah kelompok intelektual
Promotor : ilmuwan dan pemerhati keislaman
Fasilitas : buku-bukunya banyak tapi lebih spesifik dan tidak
dibuka untuk umum
Dari ketiga type perpustakaan di atas berkembanga nama-nama perpustakaan yang tersebar diberbagai wilayah Islam. Dari Dar al Hikmah lahirlah Dar al Ilm dan Dar al Kutub, Bait al Hikmah melahirkan Bait al Ilm dan Bait al Kutub dan dari Hizanah al Hikmah maka tercetuslah Hizanah al Ilm dan Hizanah al Kutub.
Menurut catatan sejarah, perpustakaan terbesar dan termegah sepanjang periode klasik adalah: pertama, Dar al Hikmah dikota Baghdad, dibangun pada masa dinasti Abbasiyah oleh khalifah Harun al Rasyid (170-193 H).16 Kedua, Bait al Hikmah dibangun pada masa dinasti Bani Umayyah di kota Damaskus oleh khalifah Muawiyah (41-60 H).17 Dan ketiga Dar al Hikmah di kota Kairo, dibangun oleh Hakim Ibn Amri Allah (395 H
0 komentar:
Posting Komentar