Pendidikan Nonformal dan Informal Pun Perlu Perhatian
Soekartawi TULISAN ini saya siapkan setelah menonton acara RCTI dalam programnya Who Wants to be a Millionaire, Sabtu 9 April 2005, di mana peserta yang bernama Agus, seorang loper (penjaja) koran memenangi hadiah sebesar Rp 500 juta dan merupakan hadiah terbesar selama acara tersebut digelar. BAGAIMANA seorang loper koran mampu menjawab pertanyaan yang begitu sulit, membuat penonton-di studio, saya sekeluarga, dan bahkan pemandu acara, Tantowi Yahya-terkagum-kagum. Di situ terjadi dialog yang membuat orang terharu, sekaligus bangga. Bahkan saya lihat beberapa ibu yang wajahnya tertampang di layar TV menangis dan bahkan berteriak-teriak histeris. Saat yang kritis itu terjadilah dialog yang maknanya sungguh luar biasa bagi fenomena pendidikan kita dewasa ini, bahkan menyentuh perasaan orang yang mengikutinya. Tantowi, si pemandu acara, berkata, "Agus, kamu sebaiknya mundur saja dan dapat Rp 250 juta daripada kamu menjawab tidak pasti dan nanti kalau jawabanmu salah kamu hanya dapat Rp 32 juta." Agus, dengan kesederhanaannya seperti yang diekspresikan di wajahnya menjawab dengan pasti, "Tidak mundur." Tantowi balik bertanya, "Kenapa? Apakah kamu yakin dengan jawabanmu itu..." Agus menjawab dengan tenang, "Ya, yakin!" "Dari mana kamu tahu jawaban itu benar?" "Saya pernah membacanya." Jawaban inilah yang menjadikan semua orang heran dan terkagum, termasuk Tantowi. Pertanyaan itu memangnya bukan level-nya ditanyakan pada seorang loper koran, tetapi Agus ternyata dapat menjawabnya. Setelah ditanya lagi, ternyata dia suka membaca koran bekas sebab koran yang baru diperuntukkan bagi pelanggannya. Ini adalah salah contoh keberhasilan pendidikan informal atau nonformal yang justru selama ini luput dari perhatian orang banyak. Yang dipersoalkan orang selama ini adalah terlalu berat pada masalah pendidikan formal, misalnya subsidi BBM untuk pendidikan, kenaikan SPP, ujian nasional, gedung sekolah rusak, gaji guru dan dosen rendah, dan banyak lulusan menganggur. Padahal, jumlah mereka yang masuk dalam klasifikasi pendidikan formal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah orang yang terlibat dan memerlukan pendidikan informal dan nonformal. Karena perhatian ke pendidikan formal begitu besar, tidak mengherankan kalau sekarang ini banyak orang mengejar ijazah, bukan mengejar ilmu pengetahuan dan keterampilan seperti yang dicontohkan oleh Agus tadi. Akibatnya, banyak pemilik ijazah menjadi kecewa kalau mereka tidak mendapatkan pekerjaan. Pendidikan massal Selama tiga tahun terakhir ini saya mendapatkan tugas untuk memperkenalkan dan mengembangkan pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ) atau yang lebih dikenal dengan istilah education atau distance learning, baik dengan metoda konvensional yang mengandalkan pada bahan cetak, audio dan video maupun metoda terbaru dengan e-learning, on-line learning atau web-based learning untuk kawasan Asia Tenggara. Negara lain di Asia Tenggara ini sudah memanfaatkan cara ini untuk program pendidikan massal agar masyarakat dapat dengan cepat menikmati pendidikan untuk menciptakan masyarakat madani (knowledge society), khususnya dalam mengantisipasi pengaruh global sekarang ini. Lebih dari itu, program pendidikan massal juga dimaksudkan dalam kerangka pendidikan untuk semua (education for all) dan pendidikan selama hayat (life long education) selama orang masih dapat meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan, apakah itu pendidikan formal, nonformal maupun informal. Tokoh Agus, seperti yang diceritakan di atas, tentunya bukan satu-satunya contoh keberhasilan seseorang dalam menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan melalui pendidikan informal atau nonformal. Tentu saja kalau dia memang sungguh-sungguh dan serius belajar mandiri. Dengan berkat kesungguhan dan kejujuran itulah akhirnya Agus dapat mencapai cita-citanya di mana ia ke Jakarta untuk tujuan memperbaiki hidupnya sebagai anak petani miskin di Jawa Tengah. Penulis sangat yakin masih banyak orang berprestasi seperti Agus, mengembangkan dirinya melalui pendidikan informal ataupun nonformal. Tokoh Agus tentunya berlawanan dengan tokoh Gelas dalam sinetron Bujangan yang ditayangkan di SCTV, yang dimainkan oleh Anjasmara. Tokoh Anjas adalah contoh dari ketidakberhasilan pendidikan kita, di mana Anjas berangkat dari Medan ke Jakarta dengan modal cita-cita yang sama dengan Agus, tetapi sayang ia tidak memanfaatkan keunggulan belajar dengan cara informal atau nonformal sehingga kekecewaan yang diraihnya. Tokoh Anjas yang dalam sinetron itu bekerja sebagai sopir bus metro mini, kalau pulang ke Medan berpura-pura menjadi dokter. Akhirnya "celaka yang dipanen" Anjas (karena ketahuan belangnya) dan sebaliknya "kebahagiaan yang dipanen Agus" (karena kejujuran dan ketekunannya). Perbedaan keduanya hanya terletak pada dapat dan tidaknya atau mau dan tidaknya mereka dalam memanfaatkan pendidikan informal atau nonformal. Dalam situasi di mana APBN untuk pendidikan masih terbatas, perlu dipikirkan bagaimana menyelesaikan masalah pendidikan dewasa ini dengan cara menambah orang-orang seperti yang dicontohkan Agus, si loper koran tersebut. Caranya? Dapat dilakukan melalui pendidikan massal dengan cara distance learning apakah itu melalui teknik e-learning, on-line learning atau web-based learning. Mengapa mesti distance learning? Apa itu "distance learning"? Orang sering pula menamakannya distance education atau pendidikan jarak jauh. Ciri-ciri dari distance learning atau DL antara lain adalah (a) sistem pendidikan yang pelaksanaannya memisahkan guru dan siswa. Mereka terpisahkan karena faktor jarak, waktu, atau kombinasi dari keduanya; (b) karena guru dan siswa terpisahkan, maka penyampaian bahan ajar dilaksanakan dengan bantuan media-e-learning, seperti media cetak, media elektronik (audio, video), atau komputer dengan segala keunggulan yang dimilikinya; (c) bahan ajarnya bersifat "mandiri". Untuk e-learning atau on-line course bahan ajarnya disimpan dan disajikan di komputer; (d) komunikasinya dua arah, baik yang disampaikan secara langsung (synchronuous) maupun secara tidak langsung (asynchronuous); (e) sistem pembelajarannya dilakukan secara sistemik (terstruktur), teratur dalam kurun waktu tertentu. Kadang-kadang juga dilakukan pertemuan antara guru dan siswa, entah dalam forum diskusi, tutorial, atau dengan pertemuan tatap muka ("residential class"). Namun, pertemuan tatap muka tidak boleh mendominasi pelaksanaan pendidikan; (f) paradigma baru yang terjadi dalam DL adalah peran guru yang lebih bersifat "fasilitator" dan siswa sebagai "peserta aktif" dalam proses belajar-mengajar. Karena itu, guru dituntut untuk menciptakan teknik mengajar yang baik, menyajikan bahan ajar yang menarik, sementara siswa dituntut untuk aktif berpartisipasi dalam proses belajar. Dalam banyak kasus, hasil DL ini cukup membanggakan dan tidak kalah dengan hasil pendidikan tatap muka. Tentu saja kalau DL tersebut dilaksanakan secara baik dan benar. Sebaliknya, masalah yang sering dihadapi dalam pelaksanaan DL umumnya adalah kurang tersedianya infrastruktur dan sumber daya pendukungnya, kurang siapnya SDM yang terlibat (baik guru, siswa maupun teknisi), cara penyampaiannya yang tidak memerhatikan kaidah-kaidah DL dan kurang atau tidak adanya dukungan kebijakan. Di samping itu, masyarakat juga sering punya persepsi yang keliru tentang DL. Misalnya, kualitasnya kurang menjamin, biayanya mahal, tidak diakreditasi oleh pemerintah, tidak asyik karena tidak ada interaksi antara siswa dan siswa atau siswa dan guru. Hal seperti ini mestinya tidak perlu terjadi kalau mereka mengerti dan kalau DL itu dilaksanakan secara baik dan benar. Dalam banyak kenyataan, jarang sekali ditemui DL yang seluruh proses belajar-mengajarnya dilaksanakan dengan e-learning atau on-line learning. Untuk memperkecil kritik terhadap DL, maka blended DL (campuran antara on-line course dan tatap muka) adalah solusinya. Juga dalam blended DL ini tidak juga perlu membentuk lembaga pendidikan sendiri, seperti universitas terbuka, tetapi cukup membuat unit yang khusus menangani blended DL ini. Dengan demikian, pelajaran yang dilakukan secara on-line learning dapat hanya satu atau beberapa saja: tutorialnya saja, satu program studi saja, dan sebagainya. Pengalaman negara lain dan juga pengalaman distance learning di Indonesia ternyata menunjukkan sukses yang signifikan, antara lain: (a) mampu meningkatkan pemerataan pendidikan; (b) mengurangi angka putus sekolah atau putus kuliah atau putus sekolah; (c) meningkatkan prestasi belajar; (d) meningkatkan kehadiran siswa di kelas, (e) meningkatkan rasa percaya diri; (f) meningkatkan wawasan (outward looking); (g) mengatasi kekurangan tenaga pendidikan; dan (h) meningkatkan efisiensi. DL pendidikan informal dan nonformal Barangkali tidak berlebihan kalau penulis mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memanfaatkan cara blended DL ini untuk melayani kebutuhan pendidikan nonformal dan informal guna mempercepat pemerataan pendidikan di Indonesia, sekaligus realisasi konsep education for all dan life-long education seperti yang diamanatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Untuk pendidikan formal memang telah digarap melalui pendidikan jarak jauh, telah dilaksanakan melalui PPPG-Tertulis Bandung, SMP, SMA, dan universitas terbuka walaupun jumlah, kualitas, dan cakupannya masih perlu ditingkatkan terus. Kebutuhan pendidikan nonformal dan informal yang ada di masyarakat sekarang ini adalah sangat besar dibandingkan dengan kebutuhan akan pendidikan formal. Bisa dimengerti karena di zaman global seperti sekarang ini persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin kuat sehingga peningkatan kemampuan diri sangat diperlukan. Cara seperti blended DL untuk pendidikan nonformal dan pendidikan informal adalah jawabannya. Bagaimana caranya? Sebenarnya tidak terlalu sulit. Saya kira cukup banyak SDM kita yang telah menguasai teknologinya. Yang diperlukan sekarang adalah dukungan politik sekaligus komitmen dari pemerintah. Pelaksanaannya? Bisa dilakukan oleh pemerintah, swasta, atau pemerintah yang berpartner dengan masyarakat dalam pelaksanaannya. Semoga! Soekartawi Pemerhati Pendidikan dan Pertanian, Dosen Universitas Brawijaya dan Mantan Direktur SEAMEO SEAMOLEC |
0 komentar:
Posting Komentar